
MALUKU INDOMEDIA.COM, Namlea– Kebijakan Pemerintah Kabupaten Buru Selatan yang memindahkan pembayaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Bank Maluku-Malut ke BPR Modern Ekspres dinilai melanggar prosedur administrasi dan berpotensi menabrak sejumlah regulasi keuangan negara. Pasalnya, langkah tersebut dilakukan tanpa Perjanjian Kerja Sama (PKS) resmi antara dua institusi perbankan tersebut.
Kritik keras datang dari berbagai kalangan. Salah satunya disampaikan Hamis Souwakil, Aktivis Hukum Maluku – Jakarta, yang menyoroti aspek legalitas dan risiko hukum dari kebijakan tersebut.
“Pemindahan gaji ASN tanpa dasar hukum seperti PKS atau regulasi kepala daerah merupakan pelanggaran administratif yang serius. Ini bisa menjadi temuan fatal dalam audit BPK karena menyangkut penggunaan dana APBD di luar prosedur,” tegas Hamis Souwakil kepada media, Selasa (5/8/2025).
Ia menambahkan, pengelolaan keuangan daerah harus tunduk pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kehati-hatian sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Kredit ASN Bukan Alasan Hukum
Pemkab berdalih bahwa pemindahan ini dilakukan untuk menanggulangi kredit macet ASN di Bank Maluku-Malut. Namun, alasan ini dinilai keliru dan tidak memiliki dasar hukum.
“Kredit ASN adalah hubungan perdata antara pegawai dan bank. Tidak ada dasar hukum yang membolehkan Pemkab mengintervensi kontrak perorangan tersebut dengan kebijakan pemindahan massal,” jelas Hamis Souwakil.
Ia menegaskan bahwa UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maupun UU ASN tidak memberi kewenangan kepada bupati untuk mengatur urusan perbankan pribadi ASN.
Langgar Prinsip Perbankan dan Etika Kepatutan
Langkah Pemkab juga dinilai melanggar prinsip kehati-hatian di sektor perbankan karena tidak melibatkan PKS antar bank, sebagaimana diwajibkan oleh peraturan OJK dan Bank Indonesia. Hal ini berpotensi menjadi pelanggaran tata kelola jika dana publik dikelola di luar mekanisme resmi antar institusi keuangan.
Tak hanya itu, dugaan aliran dana sebesar Rp300 juta dari BPR Modern Ekspres ke kas daerah memunculkan kecurigaan publik tentang kemungkinan adanya konflik kepentingan atau keberpihakan terhadap korporasi tertentu.
“Jika terbukti adanya transaksi yang tidak transparan antara Pemkab dan pihak bank swasta, maka ini bisa mengarah pada indikasi pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” ujar Hamis.
Ancaman Pidana Jika Timbulkan Kerugian Negara
Hamis menambahkan bahwa bila kebijakan ini terbukti menimbulkan kerugian negara atau menguntungkan pihak tertentu secara melawan hukum, maka kepala daerah bisa dijerat dengan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tentang penyalahgunaan wewenang.
“Dokumen kajian, persetujuan DPRD, dan transparansi publik menjadi kunci. Tanpa itu semua, maka Pemkab tidak punya dasar hukum yang kuat untuk mengalihkan dana gaji ASN secara sepihak,” tegasnya.
Desakan Audit dan Klarifikasi Publik
Saat ini, sejumlah elemen masyarakat sipil mendorong agar kebijakan ini diaudit secara menyeluruh oleh BPK dan ditinjau ulang oleh OJK. Mereka juga mendesak agar DPRD Kabupaten Buru memanggil pihak eksekutif untuk memberikan penjelasan terbuka kepada publik.
“Kami minta DPRD tidak diam. Harus ada rapat dengar pendapat terbuka untuk mengurai semua dugaan pelanggaran ini,” ujar Hamis yang adalah salah satu putra daerah. (MIM-MDO)