
MALUKU INDOMEDIA.COM, Ambon– Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Maluku menggelar Dialog Terbatas bertema “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Maluku: Antara Peluang dan Ancaman” yang berlangsung di Hotel Pacific, Ambon, Kamis (17/7). Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian diskusi strategis untuk menyusun rekomendasi kebijakan partai terkait isu-isu lingkungan dan tata kelola sumber daya alam di wilayah kepulauan.
Dialog tersebut menghadirkan berbagai elemen penting, di antaranya tokoh agama, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Greenpeace Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), WALHI, serta akademisi dari Universitas Pattimura dan Universitas Islam Negeri A.M. Sangadji. Juga turut hadir para pakar di bidang kelautan, hukum, geologi, dan sosiologi.
Dalam pemaparannya, Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menegaskan pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga ekosistem alam, terutama di wilayah rentan seperti Maluku. Ia menyoroti ketiadaan Undang-Undang Masyarakat Adat dan lemahnya implementasi Peraturan Daerah (Perda) yang melindungi hak-hak masyarakat adat di Maluku.
“Maluku ini sebagian besar wilayahnya adalah laut dan pulau-pulau kecil yang masuk dalam kawasan ekologi Wallacea. Ini memiliki fungsi ekologis sangat tinggi, bahkan penting bagi dunia. Dan masyarakat adat adalah penjaga terbaik dari ekosistem ini,” ujar Rukka.
Ia juga mengungkapkan kekhawatiran atas masifnya ekstraksi sumber daya alam, khususnya aktivitas pertambangan Galian C di Kepulauan Kei oleh PT Batulicin Beton Asphalt (BBA) sejak 2024. Menurutnya, walau hanya mengantongi izin eksplorasi, perusahaan telah melakukan pengerukan tanah dan karang selama lebih dari sembilan bulan di Ohoi Nerong dan Ohoi Mataholat.
“Informasi yang kami terima, material tambang dari Kei Besar itu dibawa ke Papua Selatan untuk proyek jalan dan dermaga. Ini bukan hanya soal izin, tetapi juga soal penghancuran pelindung alam di wilayah rentan,” tambahnya.
Rukka juga menyoroti adanya dugaan perubahan jangka waktu izin sepihak dari lima tahun menjadi lima belas tahun, yang berpotensi memperpanjang kerusakan lingkungan di kawasan yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang.
“Kepulauan Kei Besar itu ibarat perisai bagi Kei Kecil. Jika rusak, maka ancaman bagi pulau-pulau kecil di sekitarnya sangat besar. Ini bukan hanya soal hektar, tetapi soal kerentanan ekologis,” jelasnya.
Rukka menegaskan bahwa tambang di wilayah tersebut harus segera dihentikan, dan menyerukan kolaborasi lintas elemen masyarakat untuk mengawal isu ini. Ia juga mendorong para intelektual Maluku untuk lebih aktif melindungi tanah kelahirannya.
“Maluku kaya akan orang-orang cendekia. Harusnya kekayaan intelektual ini digunakan untuk menjaga lingkungan dan membebaskan Maluku dari eksploitasi alam yang merusak,” pungkasnya.
Dialog ini diharapkan menjadi momentum konsolidasi kekuatan masyarakat sipil, akademisi, dan partai politik untuk menuntut keadilan ekologis dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di wilayah kepulauan Indonesia Timur. (MIM-4)