
MALUKUINDOMEDIA.COM, AMBON– Ketua Ikatan Yante Nuhu Evav-Maluku (ITANEM), Prof. Dr. Zainuddin Notanubun, M.Pd, memberikan tanggapan tegas terhadap pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku, Drs. Ray C. Siauta, M.Si, yang dimuat di Beberapa Media media pada tanggal 17 Juli 2025. Dalam pemberitaan tersebut, Kepala DLH menyatakan bahwa dokumen perusahaan PT Batu Licin secara umum telah dapat diterima meskipun disertai sejumlah catatan, termasuk penyesuaian peta tata ruang Kabupaten Maluku Tenggara yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah.
Kadis DLH juga menyebut bahwa kehadiran PT Batu Licin dapat mendorong peningkatan ekonomi lokal dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat. Namun, Prof. Zainuddin menilai bahwa pernyataan tersebut sangat menyesatkan dan bertolak belakang dengan kondisi riil yang terjadi di lapangan, khususnya di dua desa terdampak, yaitu Ohoi Nerong dan Ohoi Mataholat di Pulau Kei Besar.
“Pernyataan Kadis DLH tidak sesuai dengan realita. Dalam eksplorasi Galian C, yang digunakan adalah alat berat seperti eskavator dan truk. Tanah langsung digali, dimuat ke truk, dan dari truk langsung dimuat ke tongkang. Ini artinya proses eksplorasi tidak memerlukan banyak tenaga kerja dari masyarakat lokal.
Ia menambahkan, “Kalaupun ada warga yang dilibatkan, itu hanya satu dua orang yang punya kemampuan mengemudikan truk dan beberapa ibu-ibu yang ditugaskan untuk memasak. Selebihnya, kehadiran perusahaan tidak memberi dampak ekonomi signifikan bagi warga. Kehidupan mereka tetap seperti biasa, tidak ada perubahan mencolok. Saya sarankan Kepala DLH turun langsung melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat kedua desa tersebut.”
Lebih lanjut, Zainuddin menegaskan bahwa keberadaan PT Batu Licin di Pulau Kei Besar bertentangan dengan berbagai regulasi nasional maupun daerah. Ia merujuk pada:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang memperkuat larangan penambangan mineral di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan terluar.
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2024 khususnya Bab V Pasal 38, yang menetapkan wilayah Pulau Kei Besar Selatan, termasuk Ohoi Nerong dan Mataholat, sebagai kawasan pertanian dan perkebunan, bukan zona pertambangan.
“Pulau Kei Besar hanya seluas 550 km², sehingga masuk dalam kategori Pulau Kecil berdasarkan UU, yakni pulau dengan luas kurang dari 2.000 km². Maka sangat jelas bahwa aktivitas pertambangan di wilayah ini adalah bentuk pelanggaran hukum dan bentuk pengabaian terhadap keberlanjutan lingkungan serta masa depan masyarakat lokal,” ujar Zainuddin.
Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan kepada Kepala DLH Provinsi Maluku agar tidak memberikan informasi keliru kepada publik, serta tidak memproses izin operasi PT Batu Licin di Pulau Kei Besar.
‘Kami meminta dengan tegas agar Kadis DLH Maluku memahami dan menegakkan regulasi yang berlaku. Pulau Kei Besar adalah pulau kecil dan terluar yang secara hukum dilindungi. Kehadiran PT Batu Licin hanya akan membawa ancaman ekologis dan sosial bagi masyarakat di sana. Tutup Notanubun. (MIM-1)