
Aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah lama menjadi isu krusial yang menimbulkan perdebatan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Bahwa secara normatif dalam sistem hukum Indonesia, telah secara tegas menyatakan bahwa pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km² tidak boleh dijadikan lokasi pertambangan. Pernyataan ini kemudian di pertegas dalam Ketentuan Pasal 35 huruf (k) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), yang melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil guna melindungi keberlanjutan lingkungan dan masyarakat adat.
Aturan sebagaimana yang telah disebutkan diatas ini juga diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, saat memutuskan menolak permohonan uji aturan larangan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dimohonkan oleh PT. Gema Kreasi Perdana pada tahun 2024.
Dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim MK menyatakan bahwa adapun norma Pasal 35 UU 27/2007 secara utuh pada pokoknya mengatur ihwal larangan kepada setiap orang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Larangan yang diatur dalam Pasal 35 huruf k UU 27/2007 dikuti dengan sanksi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 73 ayat (1) huruf f UU 27/2007 yang menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap orang yang dengan sengaja melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k”.
Oleh Josias Tiven, SH (Fungsionaris DPD KNPI Maluku)
Dalam Ketentuan a quo, pasal 35 UU 27/2007 ini menjadi dasar hukum kuat untuk menolak atau mencabut Izin Usaha Pertambangan (selanjutnya disingkat IUP) di pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan lingkungan dan keberlanjutan ruang hidup masyarakat. Pelarangan ini telah diperkuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yang menegaskan bahwa ketentuan tersebut bersifat absolut dan tidak bisa dinegosiasikan.
Namun dalam kenyataannya, muncul sikap dan tindakan politik yang menyimpang dari ketentuan hukum tersebut, sebagaimana diperlihatkan oleh Fraksi Partai Demokrat di DPRD Provinsi Maluku yang secara terbuka mendukung operasional PT Batulicin Beton Asphalt (selanjutnya disingkat PT. BBA) di Pulau Kei Besar. Dukungan ini disampaikan di tengah gelombang penolakan dari mayoritas fraksi dan masyarakat sipil, menimbulkan polemik hukum dan etika kebijakan publik.
Fraksi Demokrat berdalih bahwa dukungan mereka dilandaskan pada harapan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi ekonomi dari aktivitas tambang. Hal ini tentu menjadi perdebatan karena kebijakan publik semestinya tidak hanya bertumpu pada kalkulasi ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan ekologi dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
Kondisi ini memperlihatkan kesenjangan antara aturan hukum yang seharusnya ditegakkan namun dalam praktik politik yang justru mengabaikannya. Apalagi ketika dokumen penting seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (selanjutnya disingkat AMDAL) belum rampung, serta izin operasional PT. BBA masih menyisakan banyak tanda tanya, maka dukungan terhadap kegiatan tersebut menjadi prematur dan cacat secara yuridis.
Kejadian ini mencerminkan lemahnya komitmen terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam pengambilan kebijakan strategis yang berdampak luas terhadap masyarakat dan lingkungan. Ketika kepentingan ekonomi sesaat lebih diutamakan dibanding perlindungan pulau-pulau kecil, maka integritas hukum lingkungan dan otonomi daerah dalam melindungi sumber daya lokal menjadi terancam.
Terhadap persoalan Pertambangan PT BBA di Pulau Kei Besar, dan pernyataan dukungan dari Fraksi Demokrat dan Gerindra yang disampaikan dalam rapat gabungan Komisi I dan II DPRD bersama sejumlah OPD teknis, Selasa malam (8/7/2025, maka ada beberapa hal yang perlu kami DPD KNPI Maluku tegaskan, bahwa :
Pertama, perlu ditegaskan bahwa Pasal 35 huruf (k) UU Nomor 1 Tahun 2014, bahwa dalam pasal a quo secara eksplisit melarang pertambangan di pulau kecil yang luasnya di bawah 2.000 km². Kei Besar sebagai bagian dari wilayah Maluku Tenggara memenuhi kriteria tersebut. Oleh karena itu, aktivitas pertambangan di wilayah ini tidak hanya menyalahi hukum, tetapi juga berpotensi merusak ekosistem dan keberlanjutan sumber daya lokal.
Kedua, aspek legalitas operasional PT BBA masih diragukan, terutama dalam hal kejelasan status Proyek Strategis Nasional (selanjutnya disingkat PSN). Jika benar bahwa proyek ini adalah PSN, maka harus ditunjukkan bukti hukum seperti Peraturan Presiden atau dokumen resmi dari kementerian terkait. Tanpa dokumen tersebut, dalih bahwa proyek dapat mengabaikan larangan dalam UU PWP3K tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Ketiga, prinsip kehati-hatian dalam hukum lingkungan mengharuskan pemerintah daerah dan legislatif untuk menunda atau menolak kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan sebelum adanya kajian yang menyeluruh. Ketidaksediaan AMDAL dalam proyek PT. BBA seharusnya menjadi alasan kuat untuk menolak operasional sementara, bukan justru memberikan dukungan bersyarat yang kabur.
Keempat, dalam konteks otonomi daerah, DPRD sebagai representasi rakyat (bukan Dewan Perwakilan Fraksi) memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa setiap kebijakan yang didukung sesuai dengan hukum nasional dan tidak merugikan masyarakat lokal. Namun pernyataan Fraksi Demokrat yang lebih menonjolkan potensi pendapatan daerah tanpa mengedepankan asas legalitas menunjukkan sikap abai terhadap mandat konstitusional.
Kelima, dari segi keadilan lingkungan (environmental justice), masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil kerap menjadi pihak yang paling rentan terhadap dampak tambang. Ketika proses pengambilan keputusan tidak melibatkan mereka secara partisipatif, maka prinsip free, prior, and informed consent sebagaimana diakui dalam hukum internasional dan nasional telah dilanggar.
Keenam, dugaan bahwa sikap Fraksi Demokrat dilandasi oleh tekanan atau kepentingan tertentu, meskipun belum terbukti, merupakan sinyal bahwa proses politik lokal dapat dengan mudah tergelincir menjadi transaksional. Hal ini membahayakan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan transparansi dalam pembuatan keputusan publik.
Bahwa dukungan Fraksi Partai Demokrat dan Gerindra terhadap operasional PT BBA di Pulau Kei Besar mencerminkan konflik antara kepentingan ekonomi dan kewajiban hukum dalam perlindungan lingkungan. Bahwa hukum telah melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil, namun dalam praktiknya terjadi penyimpangan oleh oknum legislatif yang justru seharusnya menjadi pengawal hukum, Namun mendukung dan mengabaikan aspirasi masyarakat. Ingat! DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat bukan Dewan Perwakilan Fraksi, maka seyogyanya harus mengawal aspirasi rakyat.
Terhadap persoalan ini, maka Kami DPD KNPI Maluku dibawah kepemimpinan Arman Kalean Lessy dan Chrisno Rikumahu, meminta agar; _Pertama_ : Penegakan Hukum Tegas: Pemerintah pusat dan daerah wajib menindak setiap aktivitas tambang yang melanggar Pasal 35 UU PWP3K, tanpa kompromi terhadap tekanan politik atau kepentingan ekonomi jangka pendek. _Kedua_ : Transparansi Dokumen dan Informasi Publik: DPRD harus mendorong keterbukaan informasi, terutama terkait dokumen perizinan, AMDAL, dan status proyek PT BBA. _Ketiga_ : Evaluasi dan Audit Izin: Diperlukan audit independen terhadap proses terbitnya izin tambang PT BBA oleh aparat penegak hukum atau KPK jika ditemukan indikasi pelanggaran. (*)