
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON– Koridor Jalan Jenderal Sudirman di Kota Ambon kini tengah menjadi sorotan utama dalam wacana penataan tata ruang. Penataan aset milik Pemerintah Provinsi Maluku oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ambon dinilai bukan sekadar urusan administratif, melainkan momentum penting untuk rebranding wajah Kota Ambon.
Praktisi tata ruang, Jamaludin Mahulette, menegaskan bahwa langkah ini akan berhasil jika sepenuhnya selaras dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Ambon.
“Koridor Sudirman adalah etalase kota. Semua orang yang datang ke Ambon pasti melewati kawasan ini. Menata aset pemerintah di sana bukan hanya soal legalitas tanah, tapi bagaimana ruang kota ini bisa tampil lebih tertib, indah, dan produktif,” ujarnya kepada MalukuIndomedia.com.
Aset Terbengkalai Jadi Masalah Serius
Mahulette menyoroti kondisi banyak aset pemerintah di sepanjang koridor Sudirman yang terbengkalai—mulai dari bangunan rusak, lahan tak terurus, hingga area eksklusif tanpa fungsi jelas. Menurutnya, kawasan ini justru bisa dioptimalkan sebagai kunci kolaborasi pemerintah dan masyarakat jika dikelola dengan benar.
“Kalau kita hanya menata tanah tanpa memikirkan fungsinya, hasilnya hanya pemetaan yang indah, tetapi ruang kota tetap mati,” tegasnya.
Ia mendorong agar penataan aset diarahkan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), pusat layanan publik terpadu, serta kampung budaya atau galeri seni lokal yang mampu memperkuat identitas Ambon sebagai City of Music dan kota budaya.
Risiko Jika Tata Ruang Diabaikan
Peringatan keras disampaikan Mahulette: tanpa keselarasan dengan RTRW dan RDTR, pembangunan justru bisa menimbulkan bumerang.
“Bayangkan, jika satu bangunan pemerintah dibangun tanpa izin tata ruang, itu bisa mengganggu arus transportasi, menutup ruang publik, bahkan menciptakan masalah sosial baru,” katanya.
Warga Jangan Hanya Jadi Penonton
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa keberhasilan rebranding tata ruang bukan sekadar soal peta dan dokumen aset, melainkan keterlibatan aktif masyarakat.
Mahulette merekomendasikan langkah konkret:
Publikasi arah pemanfaatan aset secara terbuka dan berkala, Forum diskusi dengan warga, Sistem pemantauan bersama organisasi masyarakat lokal
“Jangan biarkan warga hanya jadi penonton. Mereka bagian dari proses,” serunya.
Rebranding Ambon: Dari Aset Mati ke Kota Hidup
Mahulette menutup pernyataannya dengan sebuah visi:
“Ini bukan sekadar penataan tanah. Ini adalah upaya rebranding kota secara ruang, identitas, dan semangat. Sudirman bisa menjadi koridor utama yang mencerminkan kota modern, sehat, dan inklusif. Ambon bisa berdiri sebagai kota provinsi yang berwawasan tata ruang, bukan sekadar mengandalkan potensi alam.”
Baginya, kepemilikan aset penting, tapi manfaat yang nyata bagi masyarakat jauh lebih penting.
“Jangan biarkan aset hanya jadi tumpukan kertas. Jadikan kota ini rumah yang hidup,” pungkas Mahulette. (MIM-CR)