
MALUKU INDOMEDIA.COM– INDONESIA tengah meniti perjalanan menuju impian gemilangnya. Visi “Indonesia Emas 2045” adalah gagasan besar bangsa sekarang ini yang diharapkan bukan hanya sekadar slogan, melainkan sebuah tekad yang tercermin dalam berbagai kebijakan strategis pemerintah. Sebagai pilar utama dalam mengukir perjalanan pembangunan dan kemajuan bangsa, visi Indonesia Emas 2045 harus mampu membingkai segala aspek kehidupan bangsa agar menjadi tonggak sejarah menuju usia yang ke-100 tahun.
Tajuk Hari Anak Nasional tahun 2025 adalah “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045“. Sebagai perwujudan dari Visi “Indonesia Emas 2045”, momentum ini seharusnya menjadi pengingat bahwa perlindungan anak bukan sekadar seremoni. Negara dituntut untuk hadir secara nyata dan tidak hanya lewat kampanye ataupun slogan. Melalui penegakan hukum, intervensi sosial, dan layanan pendampingan yang menjangkau hingga ke akar rumput.
Hak-hak anak bukanlah sekedar tinta hitam di atas kertas putih yang diukir indah, melainkan sebuah fondasi moral dari tatanan masyarakat. Memahami hak-hak anak berarti membuka ruang partisipasi yang bermakna, memperkuat perlindungan hukum, dan memastikan bahwa setiap anak di Indonesia dapat hidup dengan aman, bermartabat, dan sejahtera.
Anak wajib dilindungi dan dipenuhi hak-haknya. Mereka bukan hanya generasi penerus, tapi juga manusia utuh yang hidup di masa kini, dengan hak yang melekat sejak lahir. Meski banyak dari mereka justru tumbuh dalam lingkungan yang belum sepenuhnya aman, nyaman, dan mendukung.
Oleh : Paramitha A. G. Wakim, SH.,MH (Pemerhati Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak)
Fakta dibalik Visi
Wacana menjadikan anak sebagai generasi emas di tahun 2045 mendatang, bukanlah hal yang mudah, sebab kondisi anak-anak di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banyak predator yang bersembunyi dibalik kata “keluarga”. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman, malah menjadi penyebab utama kasus kekerasan, pelecahan, kekerasan seksual bahkan pernikahan anak. Ini adalah kenyataan pahit, yakni dominasi anak Indonesia yang masih menjadi korban kekerasan bahkan di lingkungan terdekatnya.
Di tahun 2023, Indonesia disajikan fakta oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF), yang mana memposisikan Indonesia pada peringkat ke-4 di dunia dengan estimasi anak perempuan dibawah 18 tahun yang dinikahkan, dan kini telah mencapai 25,53 juta jiwa. Angka tersebut sekaligus menobatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kasus perkawinan anak terbesar di kawasan ASEAN. Dalam landskap Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam laporan tahunannya juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat 2.057 pengaduan kasus pelanggaran hak anak yang diterima dan ditangani.
Hingga pertengahan Juli 2025, berdasarkan istem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), mencatat 10.517 anak yang menjadi korban kekerasan. Mirisnya korban kekerasan anak didominasi oleh kelompok usia 13–17 tahun dengan jumlah 5.965 korban, disusul oleh kelompok usia 6–12 tahun sebanyak 3.343 korban, dan usia 0–5 tahun sebanyak 1.209 korban.
Dengan angka ini, anak-anak menyumbang proporsi besar dari total korban kekerasan di Indonesia tahun 2025. Kekerasan seksual tercatat sebagai bentuk paling dominan dan sebagian besar kekerasan terjadi di dalam rumah tangga. Dari 10.004 korban yang mengalami kekerasan di dalam rumah tangga, banyak di antaranya menjadi korban kekerasan dari orang tua, pasangan, atau anggota keluarga dekat lainnya.
Upaya Perlindungan Hukum
Semakin banyak kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, membuktikan bahwa perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia masih minim. Meskipun telah memiliki berbagai perangkat hukum dan kebijakan untuk menjamin hak dan perlindungan anak. Aspek yuridisnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan, Ratifikasi Konvensi Hak Anak oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019, mengenai dispensasi perkawinan.
Secara teoritis, Perlindungan hukum mencakup berbagai aspek, termasuk perlindungan terhadap kekerasan, diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini melibatkan pembentukan undang-undang yang adil, sistem peradilan yang independen, dan mekanisme penegakan hukum yang efektif. Sebagaimana penjelasan Philipus M. Hadjon dalam Jurnal “Analisis Teori Perlindungan Hukum Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual” (2023). Bahwasanya perlindungan hukum adalah suatu konsep yang melibatkan langkah-langkah dan mekanisme hukum yang dirancang untuk melindungi hak-hak individu dan masyarakat secara keseluruhan yang mana bertujuan untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki akses yang adil terhadap keadilan, keamanan, dan perlakuan yang setara di hadapan hukum.
Perlindungan hukum harus memastikan bahwa hak-hak anak diakui dan benar-benar dilindungi. Sehingga sangat diperlukan kolaborasi dan kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat untuk gotong royong bersama memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak terhadap masyarakat khususnya anak-anak.
Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak anak secara nyata adalah wujud keberpihakan kita pada kemanusiaan dan masa depan bangsa. Ketika kita semua gagal memberikan perlindungan dan memenuhi hak anak, yang tercederai bukan hanya masa depan mereka, tetapi juga masa kini dan kita semua. Karena hak anak bukan hanya janji kepada generasi mendatang, melainkan komitmen terhadap nilai-nilai kehidupan itu sendiri. (REDAKSI)