
MALUKU INDOMEDIA.COM, BANDA– Gejolak penolakan terhadap aktivitas reklamasi di Banda Neira kian panas. Mantan Bupati Maluku Tengah, Abdullah Tuasikal (AT), kini jadi sorotan publik usai disebut-sebut berada di balik proyek reklamasi yang dinilai ilegal serta merugikan masyarakat adat.
Akun Nawir Husein dalam unggahan di media sosial dua hari lalu melontarkan teguran keras kepada AT.
“Stop reklamasi ilegal, jangan sampai masyarakat adat Orlima turun semua ke lokasi. Ente boleh tantang circle ente, tapi kalau ente tantang katong pung tua-tua adat, itu lain cerita. Ente sapa di republik ini? Ente pung jaman sudah selesai, jadi jang labe,” tulis Nawir, yang langsung memantik reaksi publik Banda Neira.
Aksi protes awalnya digalang 50 mahasiswa, namun separuh mundur karena diduga mendapat tekanan dari oknum dosen. Meski begitu, aksi tetap berlangsung dengan dukungan orang tua adat dan masyarakat setempat.
Isu semakin panas setelah beredar kabar AT melontarkan ancaman terhadap mahasiswa. Walau kebenarannya masih diperdebatkan, di Instagram banyak status mahasiswa yang menyebut ancaman itu nyata.
“Yang turun demo bukan hanya mahasiswa, tapi juga masyarakat adat. Kalau benar beliau (AT) ancam mahasiswa, itu bahaya. Di medsos sudah banyak bukti suara anak-anak Banda,” ujar seorang warga.
Netizen: Usir dari Pulau Banda
Gelombang penolakan di media sosial makin deras. Sebagian besar komentar menuding AT bersikap arogan dan meminta ia diusir dari Banda.
“Abdullah itu biking diri, dia kuasa Banda lai. Jang kasi longgar, lawan dia!” tulis akun lain.
Ada pula yang menyinggung relasi kuasa keluarga AT. “Bupati sekarang kan antua pung anak buah, jadi siapa yang mau larang?” sindir seorang warganet.
Yang lebih menyulut amarah, dalam salah satu momen demo, AT dilaporkan berkata:
“Yang bisa larang beta, pemerintah. Kalau pemerintah bilang stop, baru beta stop.”
Ucapan itu dianggap bentuk arogansi politik, seolah dirinya masih kebal aturan.
Sertifikat Diduga Bermasalah, BPN Masohi Ikut Disorot
Selain reklamasi, legalitas sertifikat tanah yang dipegang AT juga menuai pertanyaan besar. Sejumlah aktivis menuding dokumen itu “bodong” alias diperoleh lewat transaksi gelap bersama oknum tertentu.
Seorang warga bahkan menyebut bahwa BPN Masohi dan seorang notaris handal, yang tak lain adalah saudara AT sendiri, punya andil dalam memuluskan proses pengurusan dokumen.
“Di Banda tidak ada tanah adat, yang ada cuma tanah negara. Kalau AT sudah baku ator dengan BPN di Masohi, apalagi abang dia notaris, otomatis dokumen su beres. Itu fakta,” ujar akun Lex Lutor dalam komentarnya.
Keterlibatan lembaga negara dan profesi hukum dalam skema ini memperlihatkan indikasi serius: aparat birokrasi ikut menjadi alat oligarki lokal untuk merampas tanah masyarakat.
Tuntutan Meluas: Infrastruktur Jadi Sorotan
Di tengah hiruk-pikuk reklamasi, ada desakan agar mahasiswa Banda memperluas agenda perjuangan mereka. Warga menilai selain urusan tanah adat, infrastruktur jalan di Banda Neira jauh lebih mendesak.
“Kalau demo, jangan cuma soal reklamasi. Coba juga angkat soal jalan. Jalan di Banda hampir 100% rusak parah, tidak mungkin tidak ada anggaran. Kenapa tidak ada pembangunan infrastruktur?” tegas Lex Lutor.
Kasus ini membuka mata publik: reklamasi ilegal bukan hanya soal ekologi dan adat, tetapi juga soal bagaimana jejaring kekuasaan lokal memanipulasi birokrasi untuk melegalkan kepentingannya.
Mahasiswa dan masyarakat adat di Banda Neira kini dihadapkan pada dua pilihan: berhenti pada perlawanan simbolik, atau menjadikan kasus ini sebagai momentum memperluas agenda advokasi publik, termasuk menuntut perbaikan jalan dan infrastruktur dasar yang selama ini diabaikan.
Satu hal yang pasti, Banda tidak boleh dibiarkan jatuh ke tangan segelintir orang yang merasa dirinya penguasa abadi. (MIM-MDO)