
“Kepemimpinan bukan soal kekuasaan, tetapi tentang keberanian menyembuhkan luka bangsa dengan hati yang teguh.”
Nama Komjen Pol Marthinus Hukom kembali diperbincangkan publik. Bukan karena masa jabatannya sebagai Kepala BNN atau Kadensus 88, melainkan karena jejak kepemimpinan yang ditinggalkannya — warisan tentang ketegasan, kecerdasan, dan kemanusiaan.
Sebagai putra Maluku, Marthinus dikenal bukan hanya sebagai aparat yang disiplin, tapi juga pemimpin yang memahami denyut sosial masyarakatnya. Dalam masa penanganan konflik dan operasi keamanan di Maluku, kehadirannya menjadi penentu arah. Ia mengubah pendekatan keras menjadi strategi yang lebih manusiawi, tanpa kehilangan ketegasan hukum.
Saya berkesempatan menyaksikan langsung bagaimana Marthinus memimpin di tengah situasi yang genting. Ia tidak datang untuk menaklukkan, tetapi untuk menenangkan. Ia memerintahkan pasukan bertindak tegas, namun tetap menghormati masyarakat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Bagi saya, itu bukan sekadar strategi militer — itulah esensi kepemimpinan sejati.
Tegas Tanpa Kekerasan, Keras Tanpa Menyakiti
Pendekatan Marthinus membuktikan bahwa penegakan hukum tak harus menciptakan luka baru. Ia memahami bahwa keamanan sejati lahir dari kepercayaan, bukan ketakutan.
Ketika menangani kasus RMS (Republik Maluku Selatan) dan sejumlah ancaman keamanan di wilayah timur, Marthinus selalu menekankan dialog — dengan tokoh agama, pemuda, dan komunitas akar rumput. Ia percaya, yang dibutuhkan bukan dominasi, melainkan pendengaran dan empati.
Kecerdasan Membaca Akar Konflik
Sebagai mantan Kepala Densus 88, Marthinus memahami bahwa konflik bukan semata ancaman politik, tetapi juga ekspresi sejarah dan harga diri lokal.
Dengan ketajaman analisis dan pengalaman lapangan, ia meredam bara tanpa menambah abu. Ia menegakkan hukum, tetapi tetap menjaga marwah Maluku sebagai tanah persaudaraan.
Saya masih mengingat pesan beliau ketika kami berdinas bersama:
“Tidak semua penjahat itu jahat. Makanya tidak semua penjahat saya tembakin — kecuali yang sudah membunuh orang berulang kali, itu baru saya sikat.”
Itu bukan sekadar kalimat, tetapi filosofi keadilan yang beradab.
Saat di Merauke, kami menangkap sebelas terduga teroris yang merencanakan pengeboman gereja Katolik Katedral. Tidak satu pun ditembak mati. Semua berhasil diamankan hidup-hidup — dengan disiplin tinggi, tanpa menimbulkan korban jiwa.
“Kalau dibunuh, kita tak akan pernah tahu jaringan di baliknya,” ujar Marthinus saat itu.
Dan benar — dari para pelaku itulah rantai kasus bisa diurai, hingga rencana besar mereka gagal total.
Itulah kepemimpinan yang cerdas dan berperikemanusiaan.

Oleh: Ir. Untung Sangadji, SH., MH.
Teladan dari Timur
Saya pribadi menganggap beliau sebagai mentor kehidupan dan kepemimpinan.
Beliau pernah datang ke Polres Merauke — satu-satunya saat itu yang dipimpin oleh anggota Densus — dan banyak berbincang tentang cara membangun keadilan tanpa kekerasan. Dari sanalah saya belajar, bahwa polisi bukan hanya penegak hukum, tapi juga penjaga harapan masyarakat.
Saya membawa nilai-nilai itu ketika bertugas di Aceh Utara.
Dari inspirasi beliau, saya menerbitkan 4.000 sertifikat tanah gratis untuk rakyat kecil, agar konflik sosial bisa reda. Karena saya belajar darinya: keamanan dan keadilan adalah saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan.
Warisan Moral dan Kemanusiaan
Jejak Marthinus Hukom tidak hanya dikenang oleh lembaga, tapi juga masyarakat.
POS dan Giro bahkan pernah merilis 15.000 eksemplar perangko bergambar dirinya di depan Mapolres Merauke — simbol penghormatan kepada sosok yang berjuang menjaga perdamaian dari Timur Indonesia.
Kini, banyak yang merindukan kehadirannya kembali — bukan sekadar sebagai mantan jenderal, tetapi sebagai figur pemimpin dari Timur yang memahami luka, namun memilih menyembuhkannya.
Dan di tengah kerinduan itu, saya pribadi menyimpan satu harapan besar:
“Suatu hari, kita melihat Marthinus Hukom melangkah ke Trunojoyo 1, bukan sebagai aparat, tetapi sebagai pemimpin rakyat Maluku — pemimpin yang lahir dari tanah ini, memahami luka tanah ini, dan tahu cara menyembuhkannya.”
Dari Maluku untuk Indonesia
Kepemimpinan Marthinus Hukom adalah cermin:
Bahwa menegakkan hukum berarti juga menegakkan kemanusiaan.
Bahwa menjaga keamanan bangsa berarti memulihkan kepercayaan rakyat.
Dan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin ada pada kemampuannya mengubah ketegangan menjadi harapan.
Marthinus menuntaskan tugasnya dengan kepala tegak, meninggalkan warisan moral bagi generasi Maluku berikutnya:
Jadilah pemimpin yang berpikir jernih, bertindak berani, dan berhati lembut.
Dari Timur, ia menyalakan pesan abadi:
“Pemimpin besar bukan yang ditakuti rakyatnya, tetapi yang mampu menyembuhkan luka bangsanya.” (REDAKSI)







