
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON– Pertikaian antarwarga di sejumlah kampung di Maluku terus terjadi. Menurut Hamid Rahayaan, mantan Penasehat Ketua PBNU, ada tiga faktor utama yang menjadi sumber konflik berkepanjangan: kelembagaan desa yang tidak definitif, penegakan hukum yang lamban, serta persoalan ekonomi yang kian terjepit.
1. Kepala Desa Tak Definitif: Sumber Utama Konflik
Rahayaan menegaskan, banyak desa di Maluku hingga kini masih dipimpin oleh pejabat sementara yang ditunjuk kepala daerah. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian, bahkan memperuncing pro-kontra di masyarakat.
“Bupati dan wali kota seharusnya segera menata kelembagaan dari atas sampai ke desa. Jangan biarkan kepala desa atau raja dijabat terlalu lama oleh pejabat sementara. Masyarakat Maluku sangat menghargai pemimpin lokal, mereka inilah yang mampu meredam konflik,” kata Rahayaan.
Ia mencontohkan di Kabupaten Maluku Tengah, seperti Desa Haya dan beberapa negeri di Jazirah Leihitu, sudah bertahun-tahun tidak memiliki kepala desa definitif. “Padahal masyarakat menunggu pemimpin adat yang sah, karena ketika mereka memimpin, pasti didengar dan dihormati,” tambahnya.
2. Penegakan Hukum Lemah: Kepercayaan Publik Runtuh
Selain soal kelembagaan desa, Rahayaan juga menyoroti lemahnya penegakan hukum. Banyak kasus kriminal, korupsi, hingga penistaan agama tidak ditangani secara tegas.
“Polisi seringkali tidak tanggap, bahkan cenderung menggantung kasus. Akibatnya, masyarakat kehilangan kepercayaan pada aparat, lalu mengambil jalan sendiri, termasuk tindakan anarkis,” ujarnya.
Rahayaan menekankan agar Polda Maluku dan Polres mempercepat penyelesaian kasus-kasus sensitif, sebab hal itu menyangkut stabilitas sosial dan kepercayaan publik.
3. Ekonomi Rapuh: Investasi Terhambat
Menurut Rahayaan, konflik sosial berimbas langsung pada ekonomi. Investor enggan masuk jika daerah tidak stabil, sementara anggaran pusat ke daerah juga terus dipangkas.
“Kalau ribut terus, siapa yang mau investasi? Padahal sumber pertumbuhan ekonomi Maluku hanya dua: investasi dan bantuan pemerintah. Kalau dua-duanya terhambat, daerah pasti sulit maju,” tegasnya.
Pesan Keras untuk Kepala Daerah
Rahayaan juga menegur keras para kepala daerah di Maluku yang dinilai lebih sering bepergian ke Jakarta ketimbang fokus menyelesaikan masalah di wilayahnya.
“Urusan program pusat sebaiknya diserahkan ke gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Kalau bupati dan wali kota sibuk ke Jakarta, itu hanya buang-buang anggaran. Yang mendesak sekarang adalah menyelesaikan masalah kepala desa, hukum, dan ekonomi,” tandas Rahayaan.
Menurut Hamid Rahayaan, konflik sosial di Maluku tidak akan selesai jika akar masalah tidak ditangani serius. Kepala daerah diminta segera mendefinitifkan kepala desa, memperkuat penegakan hukum, dan mengutamakan stabilitas ekonomi, agar Maluku bisa keluar dari lingkaran konflik berkepanjangan dan membuka ruang bagi investasi serta pembangunan yang berkeadilan. (MIM-MDO)