
PULAU Seram menyimpan kekayaan agraris yang luar biasa — tanah subur, udara sejuk, dan sumber daya alam yang melimpah di dataran tinggi Manusa, Rambatu, hingga Inamosol. Namun, di balik anugerah itu, tersimpan ironi: potensi besar itu dibiarkan menjadi “berlian yang dianggap batu kerikil” oleh pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).
Alih-alih hadir dengan visi dan langkah nyata, pemerintah daerah justru tampak miskin inisiatif dan minim terobosan. Potensi pertanian dan sumber pangan lokal yang seharusnya menjadi kebanggaan, justru berubah menjadi monumen kegagalan kepemimpinan.
Dalih Efisiensi Anggaran — Tameng Birokrasi Pemalas
Pemerintah Kabupaten SBB kerap berlindung di balik alasan klasik: “anggaran terbatas”, “efisiensi pusat”, atau “kebijakan nasional menekan ruang gerak”. Namun, menurut Gerard Wakanno, dalih itu tidak lebih dari bentuk kemalasan intelektual dan kemiskinan visi.
“Efisiensi bukan alasan untuk diam. Justru saat dana terbatas, pemimpin sejati diuji untuk lebih kreatif dan tangguh,” ujarnya.
Ia menilai, jika arus dana dari pusat berkurang, seharusnya pemerintah daerah mencari jalan keluar dengan membangun jejaring ke kementerian teknis seperti PUPR, Pertanian, dan BUMN — bukan sekadar menunggu belas kasihan pusat.
Sayangnya, hingga kini, publik tak pernah mendengar adanya langkah serius, lobi strategis, atau proposal konkret yang diajukan Pemda SBB untuk mengangkat potensi Manusa dan dataran tinggi Seram ke level nasional.
Minim Inisiatif, Absen Lobi, dan Salah Prioritas
Kritik tajam juga diarahkan pada minimnya kemitraan dengan pihak swasta. Padahal, industri pangan dan ritel besar di Indonesia terus mencari pasokan bahan baku berkualitas — peluang yang justru terbuka lebar bagi wilayah seperti Inamosol dan Manusa.
Namun, bukannya memfasilitasi investor, pemerintah daerah malah terlihat pasif.
“Apakah Pemda SBB pernah melakukan roadshow investasi? Atau sekadar menunggu investor datang mengetuk pintu?” tanya Wakanno sinis.
Ia menambahkan, masalah utama bukan soal ketiadaan uang, melainkan soal salah memilih prioritas. Proyek-proyek seremonial, perjalanan dinas, hingga pembangunan “pemanis kota” lebih diutamakan ketimbang pembangunan jalan dan akses produksi ke dataran tinggi.
Jalan Rusak: Simbol Kegagalan Paling Primitif
Kondisi jalan menuju kawasan pertanian Manusa dan pegunungan Seram kini menjadi simbol paling nyata dari gagalnya tata kelola pemerintahan daerah. Akses vital bagi petani dan warga desa terputus oleh ketidakpedulian.
“Jika tidak ada jalan, itu berarti pemerintah tidak menganggap kesejahteraan rakyatnya penting,” tegas Wakanno.
Ia bahkan menantang Bupati dan DPRD SBB untuk menjawab satu hal: apa yang sudah mereka perjuangkan di tingkat pusat untuk membuka akses jalan dan mendukung produksi pangan lokal?
Modernisasi Pertanian Tanpa Jalan, Hanya Omong Kosong
Program modernisasi pertanian yang digadang-gadang pemerintah hanya sebatas wacana. Tanpa infrastruktur dasar, konsep itu hanyalah ilusi.
Traktor tidak bisa masuk, hasil panen tidak bisa keluar, dan petani terus terjebak dalam lingkaran stagnasi. Wakanno menyebut situasi ini sebagai “tumbal kebodohan birokrasi”.
Seruan Keras untuk Pemerintah Daerah
Gerard Wakanno menutup kritiknya dengan seruan moral:
“Berhentilah menjadi pemerintah yang cengeng. Jadilah pemerintah yang mencari solusi, bukan alasan. Jika tidak mampu membangun jalan ke Manusa, maka kehadiran Anda sebagai pemerintah layak dipertanyakan.”
Ia juga mendesak agar semua proyek seremonial dibatalkan dan anggaran difokuskan sepenuhnya pada pembangunan jalan dan infrastruktur pertanian.
“Jangan biarkan Manusa hanya menjadi cerita indah yang terlupakan. Karena jika rakyat masih makan wortel dan kentang dari Ambon, itu bukan keterbatasan — itu aib bagi pemerintah SBB.” (By Redaksi)







