
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON— Drama panas di balik pembentukan 10 koperasi tambang emas di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru, kian memanas dan kini resmi bergulir ke ranah hukum. Enam koperasi tanpa izin pertambangan rakyat (non-IPR) yang sebelumnya sepakat bergabung dalam struktur 10 koperasi pemegang IPR, justru berbalik arah dan melaporkan dugaan penipuan serta pemalsuan dokumen ke Polda Maluku.
Laporan itu terdaftar dengan nomor LP/B/181/VI/SPKT/Polda Maluku, tertanggal 24 Juni 2025. Nama notaris M. Husain Tuasikal, SH., M.Kn dan Ruslan Arief Soamole ikut terseret dalam laporan yang diajukan oleh Widya Muntaha bersama lima rekannya.
Sebagai kelompok pemilik hak ulayat Gunung Botak, para pelapor menegaskan bahwa mereka tidak pernah menyetujui penggabungan dengan koperasi pemegang izin resmi. Namun fakta di lapangan justru berkata lain.
Ketua Koperasi Biawan Jaya Nurlatu, Nikolaus Nurlatu, serta Ketua Koperasi Waetemun Biawan Mandiri, Jafar Nurlatu, yang telah diperiksa penyidik Polda Maluku, menyebut penggabungan itu merupakan inisiatif Pemprov Maluku. Langkah tersebut disebut sebagai jalan tengah untuk meredam konflik antara masyarakat adat dan koperasi berizin, setelah terbitnya IPR oleh Gubernur Maluku Murad Ismail pada April 2024.
“Kami pemilik lahan, tapi justru izin keluar atas nama koperasi lain. Proses kami yang sudah sesuai aturan malah disalip,” ujar Nikolaus di Ambon, Jumat (31/10/2025).
Nikolaus menilai, penerbitan izin tanpa penyelesaian hak ulayat berpotensi menimbulkan sengketa dan kerawanan sosial baru. Ia mengutip ketentuan dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batu Bara, bahwa IPR seharusnya diterbitkan setelah hak masyarakat diselesaikan terlebih dahulu.
Proses Panjang dan Uang Rp100 Juta
Dalam proses penggabungan, kedua belah pihak tercatat melakukan beberapa rapat resmi dan menandatangani Akta Penggabungan No. 11/VII tanggal 2 Juli 2024 di kantor notaris M. Husain Tuasikal di Ambon.
Namun api persoalan kembali membara setelah enam koperasi non-IPR yang ikut dalam proses tersebut melaporkan dugaan penipuan, padahal mereka disebut telah menerima dana sebesar Rp100 juta dari Direktur PT. Wansuhai Indo Mining, Helena Ismail, sebagai biaya operasional penggabungan.
“Aneh sekali, mereka sudah terima uang, hadir dalam pertemuan, tapi belakangan melapor seolah-olah tidak tahu apa-apa,” tegas Nikolaus.
Hal senada disampaikan Jafar Nurlatu. Ia menilai laporan Widya Muntaha Cs sebagai pembohongan publik dan tindakan tidak jujur. Menurutnya, seluruh proses penggabungan dilakukan secara terbuka dan disaksikan pejabat terkait, termasuk dari Dinas ESDM Maluku.
“Kami sudah lampirkan bukti-bukti, notulen rapat, dan foto-foto pertemuan ke penyidik. Kalau mereka mengaku tidak tahu, itu murni kebohongan,” ujarnya.
Ancaman Laporan Balik dan Sorotan terhadap Pemprov
Jafar memastikan pihaknya akan melapor balik Widya Muntaha Cs atas dugaan laporan palsu dan pencemaran nama baik. Ia menilai, langkah kelompok pelapor justru menghambat iklim investasi tambang rakyat di Pulau Buru.
Lebih jauh, Jafar menuding adanya unsur pembiaran dari Pemerintah Provinsi Maluku kala itu, sehingga konflik dua kubu masyarakat adat terus berlarut tanpa penyelesaian tegas.
“Kalau ini diproses tanpa klarifikasi menyeluruh, justru bisa menghambat investasi dan memicu keributan baru di Gunung Botak,” pungkasnya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Maluku saat dikonfirmasi terkait perkembangan kasus ini belum memberikan keterangan resmi.
Demikian pula Juru Bicara Gubernur Maluku, Kasrul Selang, saat dikonfirmasi, juga belum memberikan tanggapan hingga berita ini diterbitkan. (MIM-MDO)






