
MALUKU INDOMEDIA.COM, NAMLEA– Kapolres Buru, AKBP Sulastri Sukijang, mengungkapkan keluhannya terkait minimnya dukungan anggaran dari Pemerintah Provinsi Maluku dalam upaya penertiban tambang emas ilegal di Gunung Botak.
Menurutnya, hingga saat ini pihaknya belum menerima dana operasional sedikitpun dari provinsi untuk mendukung proses penertiban maupun pengosongan kawasan tambang.
“Ini menjadi perhatian serius. Saya sampaikan sampai hari ini tidak ada dana dari provinsi untuk kami yang melakukan penertiban dan pengosongan di wilayah Gunung Botak. Saya harus mengeluarkan dana operasional sendiri untuk makan dan minum anggota di sana, supaya tahu itu,” tegas Kapolres, dalam akun tiktok Ini Ambon
Pernyataan lugas Kapolres membuka fakta mengejutkan: beban operasional aparat di lapangan justru ditanggung dari kantong pribadi pimpinan kepolisian, sementara situasi di kawasan tambang liar kian rawan konflik, kriminalitas, dan kerusakan lingkungan.
Sejarah Panjang Penertiban yang Gagal
Gunung Botak bukan pertama kali menjadi sorotan. Maluku Indomedia mencatat, sejak 2011 hingga kini, kawasan tambang ini telah berulang kali ditutup dan ditertibkan oleh aparat gabungan, baik Polri, TNI, maupun Satpol PP.
Namun, setiap operasi hanya bertahan sesaat. Para penambang ilegal selalu kembali, bahkan lebih masif, karena ketiadaan strategi terpadu dan lemahnya dukungan anggaran pemerintah daerah.
Beberapa momen penting kegagalan penertiban:
2012 – Pemerintah menutup Gunung Botak, namun ribuan penambang liar kembali dalam hitungan minggu.
2015 – Operasi besar-besaran dilakukan, tapi tambang kembali marak karena lemahnya pengawasan.
2018 – Pemerintah pusat ikut campur, Gunung Botak sempat steril, namun beberapa bulan kemudian aktivitas ilegal kembali terjadi.
2021–2023 – Penertiban sporadis dilakukan, tapi tambang liar tetap hidup hingga hari ini.
Korban Jiwa dan Konflik Sosial
Jangan Biarkan Kapolres Buru Berjuang Sendiri
Gunung Botak bukan hanya persoalan tambang emas liar, melainkan cermin lemahnya komitmen pemerintah provinsi Maluku dalam menjaga keamanan, lingkungan, dan masa depan rakyat.
Jika seorang Kapolres sampai harus merogoh kantong pribadi demi membiayai makan dan minum pasukan di lapangan, itu bukan sekadar kelalaian birokrasi, tetapi bukti nyata abainya pemerintah daerah.
Pertanyaan publik kini sederhana: Apakah Pemprov Maluku benar-benar serius memberantas tambang liar, atau justru ada kepentingan yang membuat mereka memilih bungkam?
Gunung Botak telah menjadi simbol kerusakan: tanah yang tercemar, sungai yang beracun, konflik horizontal, hingga hilangnya nyawa. Membiarkan Kapolres berjuang sendiri sama artinya dengan menggadaikan wibawa negara dan masa depan rakyat Buru.
Gubernur Maluku segera bertindak, mengalokasikan anggaran darurat, dan menunjukkan keberpihakan nyata. Sebab, tanpa itu semua, penegakan hukum hanya akan jadi panggung sandiwara, sementara rakyat tetap menjadi korban kerakusan tambang ilegal. (MIM-MDO)