
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON— Pemerintah Provinsi Maluku resmi menyiapkan arah pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) 2025–2029 dengan visi besar: “Provinsi Maluku yang Alifa, Adil, dan Sejahtera Menyongsong Indonesia Emas 2045.”
Visi ini terdengar megah, namun di baliknya tersimpan sederet pekerjaan rumah yang menuntut keberanian untuk benar-benar transformative, bukan sekadar normatif.
Ketimpangan Masih Jadi Luka Lama
Maluku dikenal sebagai provinsi kepulauan dengan 1.349 pulau. Namun fakta di lapangan menunjukkan, hingga kini masih terjadi ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Pulau-pulau kecil di wilayah selatan dan timur masih tertinggal dari pusat ekonomi di Pulau Ambon. Keterbatasan transportasi laut dan udara membuat harga bahan pokok melambung tinggi.
RPJMD memang mencatat hal ini sebagai isu strategis, tapi pertanyaannya:
Apakah rencana lima tahun ke depan mampu menjembatani jarak antara “visi” dan “realitas”?
Defisit Lahan dan Bayang Krisis Pangan
Dalam dokumen RPJMD, daya dukung lahan pertanian Maluku dinyatakan defisit. Artinya, kebutuhan pangan masyarakat kini melampaui kemampuan lahan untuk memproduksinya.
Situasi ini memperlihatkan sisi rapuh ketahanan pangan di provinsi kepulauan.
Jika tidak segera ditangani dengan inovasi seperti pertanian pulau, urban farming, atau teknologi hidroponik, Maluku bisa menjadi importir pangan bahkan antar-pulau sendiri.
“Maluku punya laut luas, tapi daratan sempit. Kita tidak boleh kehilangan visi pangan yang berdaulat di tanah sendiri,” tulis catatan analisis kebijakan dalam RPJMD.
Energi Laut Besar, tapi Masih Tidur
Salah satu sorotan menarik adalah sektor energi terbarukan.
Maluku memiliki potensi arus laut, angin, dan panas bumi yang bisa menjadi masa depan energi hijau Indonesia Timur. Namun hingga kini, potensi itu belum digarap serius.
Rasio elektrifikasi memang sudah mencapai 96,49%, tapi belum sepenuhnya merata ke pulau-pulau kecil.
Inilah titik di mana RPJMD diuji: apakah “transformasi ekonomi” benar-benar akan mendorong green energy dan investasi berbasis laut, atau hanya berhenti di meja rapat?
Kemiskinan Masih Dua Digit, Target Konservatif
Data RPJMD menunjukkan angka kemiskinan Maluku masih di kisaran 16,11% (2024) dengan target 2029 hanya turun menjadi 14,40%.
Target ini dinilai terlalu konservatif, apalagi jika dibandingkan dengan potensi ekonomi maritim dan pariwisata yang besar.
Jika tidak ada gebrakan lapangan kerja baru di sektor produktif, maka “transformasi sosial” hanya akan menjadi jargon indah di atas kertas.
Kesehatan dan SDM: Masih Soal Pemerataan
Isu lain yang tidak kalah krusial adalah pelayanan kesehatan dan distribusi tenaga medis.
RPJMD mencatat angka harapan hidup 71,43 tahun (2024), namun fasilitas kesehatan di pulau-pulau terpencil masih jauh dari layak.
Kekurangan tenaga medis spesialis menjadi momok lama yang belum terpecahkan.
“Pemerataan SDM kesehatan harus jadi prioritas. Transformasi sosial tak berarti apa-apa jika rakyat kecil di pulau kecil masih susah berobat,” ujar salah satu aktivis kesehatan di Ambon.
Digitalisasi Pemerintahan: Janji Era Baru Tata Kelola
Pemerintah daerah menaruh harapan pada Transformasi Tata Kelola dengan mendorong digitalisasi layanan publik.
Namun tantangan infrastruktur digital dan literasi teknologi masih besar, terutama di kabupaten dengan akses internet terbatas.
Program e-Government dan data terpadu lintas OPD akan menjadi ujian sejati apakah Maluku siap menuju “pemerintahan bersih dan modern”.
Potensi Bahari: Kunci Ekonomi Baru
Di sisi lain, RPJMD juga menempatkan pariwisata bahari dan kelautan sebagai sektor unggulan masa depan.
Dari Kepulauan Banda hingga Kei, potensi wisata dan ekonomi laut terbuka lebar.
Namun potensi sebesar itu butuh keberanian dalam promosi, investasi, dan manajemen profesional agar tak hanya menjadi potret indah di brosur pariwisata.
Antara Janji dan Aksi
Visi “Alifa, Adil, dan Sejahtera” seharusnya menjadi kompas moral dan politik pembangunan Maluku lima tahun ke depan.
Namun untuk mewujudkannya, dibutuhkan kepemimpinan transformasional, keberanian memotong rantai birokrasi lama, serta sinergi lintas sektor yang nyata.
RPJMD ini adalah “kontrak sosial” baru antara pemerintah dan rakyat Maluku.
Apakah kontrak itu akan ditepati, atau justru menjadi dokumen indah yang dilupakan, akan ditentukan oleh bagaimana pemerintah bertindak — bukan sekadar berjanji. (MIM-MDO)






