
MALUKU INDOMEDIA.COM, JAKARTA– Tentara Nasional Indonesia (TNI) genap berusia 80 tahun pada 5 Oktober 2025. Namun, di balik gegap gempita seremoni HUT, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai usia ke-80 justru menjadi cermin mandeknya reformasi militer, suburnya praktik multifungsi, dan menguatnya impunitas hukum.
Koalisi menegaskan, TNI harus kembali ke barak sesuai amanat konstitusi: menjadi alat pertahanan negara, bukan perebut ruang sipil. “Multifungsi TNI bukan saja merusak profesionalisme prajurit, tetapi juga merusak demokrasi,” tegas mereka dalam siaran pers yang diterima Maluku Indomedia.com.
Rentetan Kekerasan dan Impunitas
Sejak Januari hingga September 2025, catatan Koalisi menunjukkan keterlibatan prajurit TNI dalam kasus-kasus tindak pidana umum: penembakan bos rental mobil di Tangerang, penyerangan Polres Tarakan, penembakan warga sipil di Aceh dan Lampung, pembunuhan jurnalis perempuan di Banjarbaru, hingga penculikan Kepala Cabang Bank BRI di Jakarta.
Tak hanya warga sipil, sesama prajurit pun menjadi korban. Kasus kematian Prada Lucky di NTT akibat penganiayaan senior disebut sebagai bukti bahwa kekerasan bersifat struktural, bukan sekadar insiden individual.
Ironisnya, mayoritas kasus berakhir dengan vonis ringan di peradilan militer. “Selama hakim, jaksa, dan terdakwa sama-sama militer, mustahil ada keadilan bagi korban sipil,” kritik Koalisi, mengutip vonis 2 tahun 6 bulan pada kasus penembakan anak di Serdang Bedagai hingga vonis 1 tahun pada kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua.
Kebijakan Kontra-Reformasi
Alih-alih memperkuat supremasi sipil, pemerintah justru memberi ruang lebih besar bagi militer. Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, perpanjangan usia pensiun perwira tinggi, hingga pembentukan enam Kodam baru: Kodam XIX/Tuanku Tambusai, Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol, Kodam XXI/Radin Inten, Kodam XXII/Tambun Bungai, Kodam XXIII/Palaka Wira, dan Kodam XXIV/Mandala Trikora.
“Penambahan Kodam menghidupkan kembali pola komando teritorial ala Orde Baru yang lebih berfungsi sebagai alat kontrol politik daripada pertahanan. Ini pemborosan anggaran sekaligus ancaman nyata bagi demokrasi,” ujar mereka.
Tak hanya itu, Koalisi menyoroti ancaman militerisasi ruang siber melalui RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) yang memberi kewenangan TNI sebagai penyidik pidana siber. “Rumusan ini bertentangan dengan konstitusi. Militer bukan polisi siber,” tegas Koalisi.
Tuntutan Koalisi
Koalisi mendesak langkah konkret, bukan sekadar slogan:
1. Hentikan total praktik multifungsi TNI di ranah sipil.
2. Revisi UU No. 31/1997 agar prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diproses di peradilan umum.
3. Pemerintah dan DPR menegaskan kembali agenda reformasi sektor keamanan dalam kebijakan nyata.
4. Panglima TNI mengembalikan militer ke tugas utama: menjaga pertahanan negara.
“Tidak ada demokrasi tanpa supremasi sipil. Tidak ada keadilan tanpa akuntabilitas militer,” pungkas Koalisi yang terdiri dari SETARA Institute, Imparsial, YLBHI, KontraS, Amnesty International Indonesia, WALHI, AJI, ICJR, LBH APIK, hingga BEM SI.
Agenda reformasi TNI yang diperjuangkan dengan darah dan air mata pada 1998, tegas mereka, tidak boleh berhenti di tengah jalan dan hanya menjadi slogan kosong.
Delapan dekade TNI seharusnya menjadi momentum mempertegas profesionalisme, bukan memperlebar cengkeraman di ranah sipil. Demokrasi tidak akan tumbuh dalam bayang-bayang senjata, dan hukum tidak akan tegak jika pelaku kekerasan berseragam kebal dari keadilan. Pemerintah dan DPR tak boleh lagi menutup mata. Menjaga supremasi sipil bukan sekadar amanat reformasi, tetapi syarat mutlak agar republik ini tetap berdiri di atas hukum, bukan di atas laras senapan. (MIM-MDO)