
MALUKU INDOMEDIA.COM, KKT– Polemik keberadaan Bernadus Turlel dalam lingkaran Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) kembali menjadi sorotan publik. Setelah resmi di-PHK oleh Kementerian Desa PDTT pada Maret 2022, dan bahkan mendapat surat peringatan dari TAPM Maluku di Mei 2022, namanya justru masih tercatat aktif dalam sejumlah kegiatan hingga akhirnya kembali muncul dalam SK Bupati Tanimbar Nomor 1727 Tahun 2025.
Fakta yang mencuat lebih tajam lagi: selama menjabat sebagai TAPM, Bernadus ternyata juga berperan sebagai suplayer barang dan jasa bagi beberapa Tim Pendamping Profesional (TPP). Rangkap fungsi ini menimbulkan dugaan kuat adanya conflict of interest yang secara terang melanggar aturan etik dan administrasi TAPM.
Pakar hukum yang dikonfirmasi Maluku Indomedia menilai, kasus Bernadus tidak bisa dipandang ringan. Ada sejumlah instrumen hukum yang berpotensi menjeratnya, antara lain:
1. UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001)
Pasal 2 ayat (1): Melawan hukum memperkaya diri/orang lain/korporasi yang merugikan keuangan negara.
Pasal 3: Penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukan.
→ Jika terbukti menggunakan posisi TAPM untuk mengatur proyek desa demi keuntungan pribadi sebagai suplayer, maka unsur tipikor terpenuhi.
2. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Melarang pejabat/pendamping desa ikut serta dalam pengadaan yang mereka awasi.
Bernadus diduga melanggar aturan ini karena rangkap sebagai konsultan sekaligus penyedia.
3. Sanksi Administratif dan Etik
Berdasarkan regulasi TAPM, seorang pendamping harus netral, fokus pada pemberdayaan masyarakat, dan tidak boleh merangkap kepentingan bisnis.
Preseden Buruk untuk Pemberdayaan Desa
Keterlibatan Bernadus sebagai TAPM sekaligus suplayer bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi juga preseden buruk yang merusak marwah pemberdayaan desa. Bagaimana mungkin seorang pendamping yang seharusnya mengawasi dan membimbing, justru ikut bermain dalam proyek pengadaan barang/jasa?
Kondisi ini tidak hanya melemahkan kepercayaan publik, tetapi juga membuka ruang dugaan penyalahgunaan anggaran dana desa.
Kini, sorotan publik tertuju pada aparat penegak hukum dan Kemendes PDTT. Apakah kasus Bernadus akan berhenti sebatas polemik administratif, ataukah akan benar-benar diproses hukum sebagai dugaan korupsi dengan penyalahgunaan kewenangan?
Di tengah sorotan publik yang semakin tajam, kasus Bernadus Turlel menjadi ujian nyata: apakah hukum di negeri ini mampu melindungi kepentingan rakyat desa, atau justru tunduk pada permainan elit daerah?. (MIM-MDO)