
MALUKU INDOMEDIA.COM, JAKARTA— Democratic Judicial Reform (DE JURE) menyoroti keras penundaan eksekusi terhadap terpidana Silfester Matutina dalam kasus fitnah terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, yang hingga kini belum juga dilakukan oleh pihak kejaksaan.
Direktur Eksekutif DE JURE, Bhatara Ibnu Reza, menilai bahwa kasus ini menjadi bukti nyata kemunduran penegakan hukum dan bentuk penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) di tubuh kejaksaan.
“Vonis 1,5 tahun penjara terhadap Silfester Matutina dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak tahun 2019, namun eksekusi tidak segera dilakukan dengan alasan pandemi Covid-19. Ini alasan yang tidak relevan dan menunjukkan ketidakseriusan aparat penegak hukum,” tegas Bhatara dalam siaran pers yang diterima Maluku Indomedia.com, Sabtu (11/10/2025).
Ironisnya, lanjut Bhatara, terpidana Silfester justru secara terbuka menantang kejaksaan untuk segera mengeksekusinya. Ia bahkan sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK), namun pengadilan telah menolak permohonannya. Namun hingga kini, jaksa masih belum melaksanakan eksekusi.
“Yang lebih janggal lagi, kejaksaan malah meminta bantuan penasihat hukum dari terpidana untuk menghadirkan kliennya kepada jaksa eksekutor. Ini jelas melampaui logika penegakan hukum,” ujarnya tajam.
Bhatara juga menuding adanya praktik tebang pilih dalam pelaksanaan hukum, karena Silfester Matutina masih bisa tampil bebas di berbagai media massa. Sementara, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Kejaksaan Agung justru saling lempar tanggung jawab.
“Dalih bahwa Silfester tidak dapat ditemukan bertentangan dengan fakta di lapangan. Ini memperlihatkan adanya ketimpangan dan permainan di balik proses hukum,” imbuhnya.
Selain itu, DE JURE juga menyoroti Komisi Kejaksaan RI yang dianggap gagal menjalankan fungsi pengawasan eksternal secara efektif. Menurut Bhatara, lembaga tersebut tidak menunjukkan ketegasan dalam mendesak kejaksaan agar segera mengeksekusi putusan pengadilan.
“Komisi Kejaksaan seolah turut mengamini langkah kejaksaan yang mengulur-ulur eksekusi. Padahal tugas mereka jelas: melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja serta perilaku jaksa,” tegasnya.
DE JURE menilai lemahnya sistem check and balance antara kewenangan kejaksaan dan lembaga pengawas eksternal menjadi akar persoalan. Apalagi di tengah dorongan untuk memperluas kewenangan kejaksaan melalui RUU KUHAP dan RUU Perubahan Kedua UU Kejaksaan, tanpa memperkuat sistem pengawasan.
“Kejaksaan sedang berada di posisi yang terlalu kuat tanpa pengawasan yang memadai. Ini berbahaya bagi demokrasi hukum dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan,” tambah Bhatara.
Di akhir pernyataannya, DE JURE mendesak Kejaksaan RI segera mengeksekusi terpidana Silfester Matutina serta meminta Komisi Kejaksaan RI menjalankan fungsi pengawasannya secara serius.
Bhatara juga menegaskan bahwa kejaksaan tidak seharusnya menarik militer dalam ranah hukum sipil.
“Keterlibatan militer dalam urusan kejaksaan menyalahi konstitusi. Militer bertugas menjaga kedaulatan negara, bukan menjaga kejaksaan,” pungkasnya. (MIM-MDO)