
AMBON, MALUKUINDOMEDIA.COM— Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPC PERMAHI) Ambon mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku untuk bersikap transparan dan tidak sembarangan dalam menggunakan dasar hukum penunjukan perusahaan untuk pengerjaan proyek renovasi rumah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku.
Ketua DPC PERMAHI Ambon, Rizky Gunawan, menyatakan bahwa proyek renovasi rumah jabatan Gubernur Maluku yang kembali menyedot perhatian publik telah menelan dana cukup besar. Dalam rentang 2019 hingga 2023, tercatat anggaran sebesar Rp5,4 miliar telah dikeluarkan. Kini, proyek tersebut kembali dianggarkan sebesar Rp14,5 miliar oleh pemerintahan Gubernur yang baru.
Sementara itu, rumah jabatan Wakil Gubernur yang mengalami kerusakan ringan, telah mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp5 miliar, dan pengerjaannya telah diselesaikan lebih awal. Rumah tersebut sudah ditempati sejak awal Maret 2025.
Sedangkan rumah jabatan Gubernur disebut mengalami kerusakan berat, sehingga pengerjaannya dianggap mendesak dan sedang dikebut penyelesaiannya agar segera dapat dihuni.
Menanggapi pernyataan dari Pejabat Pelaksana Kegiatan (PPK) Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku bahwa proyek ini dilaksanakan oleh PT Cipta Utama Jaya dan CV Seram Utara Raya melalui mekanisme penunjukan langsung berdasarkan Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2020, Rizky menilai dasar hukum tersebut tidak tepat dijadikan landasan tunggal.
“LKPP memang penting dalam pengaturan pengadaan, tapi Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2020 tidak secara spesifik mengatur soal proyek mendesak rumah jabatan Gubernur. Seharusnya Pemprov mengacu pada regulasi yang lebih umum seperti Perpres Nomor 16 Tahun 2018 dan perubahan melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021, yang mengedepankan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rizky menyoroti kewajiban pemerintah daerah untuk mengalokasikan minimal 40% dari belanja barang/jasa untuk usaha kecil dan koperasi, serta mengutamakan penggunaan produk dalam negeri dengan nilai TKDN dan BMP minimal 40%, sebagaimana diatur dalam Perpres tersebut.
“Kami khawatir, jika proses ini tidak dibuka secara transparan, maka akan memunculkan kecurigaan publik atas potensi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ini sangat bertentangan dengan semangat Par Maluku Pung Bae,” ujarnya.
Dengan banyaknya polemik anggaran yang timbul di tengah efisiensi keuangan daerah, PERMAHI Ambon menegaskan bahwa publik berhak mengetahui secara jelas dasar hukum penunjukan perusahaan, rincian penggunaan anggaran, serta progres pelaksanaan proyek yang hingga kini masih berjalan.
“Transparansi adalah pondasi kepercayaan publik. Jangan sampai proyek rumah jabatan ini menjadi simbol ketertutupan birokrasi dan pemborosan anggaran,” tutup Rizky. (MIM-2)