
MALUKU INDOMEDIA.COM, SBB– Siapa sebenarnya yang memimpin Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB)? Pertanyaan ini semakin menguat di tengah dugaan bahwa bupati hanya sekadar simbol, sementara arah kebijakan daerah justru ditentukan lingkaran orang dekat yang tak memiliki legitimasi rakyat.
Kabupaten SBB kini tengah menghadapi krisis kepemimpinan serius. Di saat masyarakat mendesak kepastian pembangunan, pelayanan publik, dan ketersediaan kebutuhan pokok, yang tampak justru panggung kekuasaan tanpa arah yang jelas.
Figur Seremonial, Bukan Pemimpin Sejati
Bupati SBB seolah hadir hanya sebagai figur formal dengan aktivitas seremonial, sementara arah kebijakan diduga kuat dikendalikan lingkaran terdekat yang lebih dominan daripada pemimpin formal. Situasi ini memicu keresahan publik: apakah kepemimpinan masih dimaknai sebagai amanah rakyat, atau sekadar permainan kuasa segelintir orang?
Ismail M. Lussy, pengamat politik dan pemerintahan, menegaskan bahwa kepemimpinan daerah adalah ujung tombak pembangunan. Masyarakat tidak menuntut sesuatu yang berlebihan, mereka hanya menginginkan kepastian arah pembangunan, pelayanan publik yang adil, serta kebijakan yang menyentuh kebutuhan dasar.
“Yang terjadi di SBB justru pemerintahan yang berjalan tanpa konsep, terjebak dalam simbol dan pencitraan. Pemimpin hadir secara fisik, tapi kosong secara visi,” tegas Ismail.
Bayang-Bayang “Dayang-Dayang Politik”
Lebih ironis, menurutnya, rakyat merasakan kendali pemerintahan tidak sepenuhnya berada di tangan bupati. Bayang-bayang “dayang-dayang politik” dianggap lebih dominan memengaruhi kebijakan. Akibatnya, lahirlah kesan bahwa bupati hanya menjadi figur seremonial, sementara roda pemerintahan dijalankan oleh orang-orang tanpa legitimasi rakyat.
Krisis Nyata, Kepemimpinan Kosong
Dalam kondisi krisis nyata, seperti kelangkaan BBM, minimnya lapangan kerja, hingga keterbatasan infrastruktur dasar, publik menilai bupati semestinya tampil sebagai problem solver, bukan sekadar pengumbar janji. Rakyat menunggu langkah nyata: memperjuangkan kuota BBM ke pusat, memastikan distribusi adil, hingga membuka ruang ekonomi baru bagi masyarakat kecil.
“Tanpa tindakan nyata, kepemimpinan hanya tinggal nama. Sebuah kursi kosong yang dihiasi protokol dan seremoni,” lanjut Ismail.
Ia juga memperingatkan bahwa keadaan ini bisa melahirkan luka kepercayaan publik. Demokrasi lokal yang diharapkan menghasilkan pemimpin visioner justru menghadirkan figur lemah konsep.
“Jika suara rakyat di TPS hanya melahirkan pemimpin bayangan, maka yang terancam bukan sekadar kualitas pemerintahan, tapi juga masa depan demokrasi itu sendiri,” ujarnya.
Kekosongan kepemimpinan berisiko mendorong apatisme rakyat, bahkan potensi konflik sosial.
Saatnya Keluar dari Bayang-Bayang
Karena itu, Ismail menegaskan, sudah saatnya bupati SBB keluar dari bayang-bayang lingkaran terdekat, tampil dengan visi dan gagasan jelas, serta berani mengambil keputusan strategis.
“Kepemimpinan bukanlah panggung sandiwara, melainkan amanah rakyat yang akan dipertanggungjawabkan. SBB membutuhkan pemimpin sejati yang berdiri di depan rakyatnya, bukan figur yang dikendalikan dayang-dayang kece di sekelilingnya,” pungkas Ismail. (MIM-MDO)