
MALUKU INDOMEDIA.COM, SBT- Program prioritas Bupati Seram Bagian Timur, Fachri Husni Alkatiri, Lc., M.Si., yang mengusung hilirisasi sagu menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat. Meskipun pemerintah daerah mengklaim kebijakan ini bertujuan meningkatkan nilai tambah ekonomi dan membuka peluang investasi, sejumlah Organisasi Mahasiswa, pemerhati lingkungan, akademisi, dan organisasi masyarakat justru melihatnya sebagai langkah yang sarat risiko.
Kekhawatiran utama yang mencuat adalah potensi ancaman terhadap kelestarian pohon sagu yang selama ini menjadi sumber pangan utama, penyangga ekosistem, sekaligus identitas kultural masyarakat adat di wilayah Maluku, khususnya di SBT.
Sagu Bukan Sekadar Pangan, tapi Simbol Kehidupan:
Di Maluku, khususnya Seram Bagian Timur, sagu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Ia bukan hanya makanan pokok, tetapi juga simbol budaya, persaudaraan, dan ketahanan pangan. Dalam tradisi orang Seram, sagu hadir di setiap momen penting.
Berdasarkan data resmi, SBT menguasai 35.426 hektare dari total 36.462 hektare lahan sagu di Maluku. Sebaran ini mencakup 15 kecamatan, menjadikan SBT lumbung sagu terbesar di provinsi ini.
Namun, di tengah potensi yang begitu besar, arah kebijakan pemerintah daerah dinilai masih kabur. Alih-alih memperkuat ekonomi masyarakat lokal, hilirisasi yang dicanangkan dinilai lebih menguntungkan pihak investor daripada warga pemilik lahan.
Bagi masyarakat adat Seram, sagu bukan sekadar tanaman pangan. Ia adalah simbol kehidupan, bahan makanan pokok, serta bagian dari tradisi yang diwariskan turun-temurun. Di banyak negeri adat, sagu digunakan dalam upacara, penyambutan tamu, dan menjadi sumber cadangan pangan saat krisis ungkap Rifki
Kebijakan yang Dinilai Tidak Tepat:
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Sahabat KOMENDAN Maluku (DPD GASMEN) M.Abd Rifki Derlen, S.Ap dalam pernyataannya menegaskan bahwa arah hilirisasi yang dicanangkan Pemkab SBT belum tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Ia menambahkan Seandainya Jika Hilirisasi ini Berjalan dan masuknya investor tanpa regulasi ketat akan memicu pembabatan sagu secara masif. yang di kewatirkan masuknya investor akan menghilangkan jejak identitas asli masyarakat Seram dalam rantai produksi dan distribusi. Semisal Sagu kita diangkut keluar daerah, diolah, dan dijual kembali, tapi masyarakat pemilik lahan pasti hanya mendapat keuntungan kecil, dari Hilirisasi Sagu yang di cenangkan oleh pemerintah Kabupaten SBT, Lebih parah, identitas orang Seram sebagai penjaga warisan sagu perlahan dihapus.
Investasi atau Perampasan Sumber Daya:?
Saya melihat bahwa tentu Hilirisasi ini akan menarik perhatian banyak Investor Yang masuk menggarap lahan disana, dan ini tentu akan memasuknya modal besar yang kerap diiringi praktik dan merugikan masyarakat Lokal.
Tentu ini pasti banyak lahan yang sebelumnya dikelola secara tradisional kini beralih fungsi untuk produksi skala industri. Proses ini sering kali kita melihat tidak disertai sosialisasi yang memadai dan kebanyakan hanya melibatkan segelintir elite lokal, dan ini pasti merugikan petani kecil dalam posisi lemah.
Derlen menyebut bahwa hilirisasi yang dilakukan tanpa analisis daya dukung lingkungan akan mengundang masalah besar di masa depan. Kalau hutan sagu dibabat habis, bukan hanya ketahanan pangan yang terancam, tapi juga ekosistem. Sagu itu menyerap air, menahan banjir, dan menjadi habitat satwa. Menghilangkannya berarti membuka pintu bencana.
Ancaman Terhadap Ekosistem dan Ketahanan Pangan:
Derlen menilai kebijakan hilirisasi tanpa kajian mendalam sangat berisiko. Ia menyoroti hilangnya keseimbangan ekosistem jika pembabatan sagu dilakukan tanpa kontrol.
Ia juga memperingatkan bahwa hilirisasi yang dikejar demi keuntungan jangka pendek akan menimbulkan kerugian jangka panjang, termasuk krisis pangan lokal. “Sagu adalah benteng ketahanan pangan orang Seram. Kalau benteng ini runtuh, kita akan bergantung pada pangan dari luar, dan itu artinya harga pangan akan semakin tidak terkendali.
Identitas Orang Seram di Persimpangan Jalan:
Bagi masyarakat adat, sagu bukan sekadar bahan makanan. Ia adalah identitas budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dari proses menokok, menjemur, hingga menyajikan papeda, semua adalah bagian dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
DPD GASMEN MALIKU menegaskan bahwa jika hilirisasi sagu dilakukan tanpa melibatkan masyarakat lokal secara langsung, maka yang hilang bukan hanya pohon sagunya, tetapi juga identitas orang Seram itu sendiri. “Sagu adalah kita. Jika sagu habis, sebagian dari jati diri kita juga ikut hilang,” tegas pernyataan resmi GASMEN.
Desakan untuk Meninjau Ulang Kebijakan:
Menanggapi situasi ini, DPD GASMEN Maluku mendesak Pemerintah daerah Kabupaten Seram Timur untuk meninjau ulang kebijakan hilirisasi sagu. Mereka meminta:
1. Kajian Lingkungan yang Mendalam Menilai daya dukung lahan sagu sebelum memulai proyek hilirisasi.
2. Perlindungan Hukum bagi Lahan Adat – Mengatur kepemilikan dan pemanfaatan lahan agar tetap dikelola oleh masyarakat lokal.
3. Industri Berbasis Komunitas Memastikan proses pengolahan sagu memberi nilai tambah di tingkat desa dan kecamatan.
4. Pengawasan Investor – Mengatur ketat aktivitas perusahaan agar tidak merugikan masyarakat adat.
Pembangunan ekonomi sejati tidak boleh mengorbankan identitas dan sumber pangan rakyat. Hilirisasi yang tepat hanya akan lahir dari pengelolaan berkelanjutan, perlindungan lahan, dan keterlibatan penuh masyarakat lokal.
“Pembangunan ekonomi harus selaras dengan perlindungan budaya dan alam. Kalau hilirisasi hanya menguntungkan segelintir pihak, maka itu bukan kemajuan, melainkan kemunduran,” tutup Ketua DPD GASMEN Maluku M.Abd Rifki Derlen, S.Ap. (MIM-MDO)