
“Hipda-H: DPRD Bukan Lagi Pelindung Rakyat, Melainkan Provokator”
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON– Pelegalan tambang sinabar di Seram Bagian Barat (SBB) dituding sarat kepentingan politik. DPRD Provinsi Maluku, khususnya Fraksi Gerindra dapil SBB, diduga melakukan manuver sepihak dengan mengangkat Desa Iha sebagai subjek legalitas dan menyingkirkan masyarakat adat Desa Luhu. Himpunan Pemuda Huamual (Hipda-H) menyebut langkah itu bukan sekadar kelalaian, melainkan rekayasa konflik yang berpotensi meledak kapan saja.
“Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tapi pengkhianatan politik. DPRD telah kehilangan objektivitasnya. Mereka justru menciptakan panggung konflik horizontal dengan memihak kepentingan tertentu,” tegas Sekretaris Umum Hipda-H, Amin Serawak, Minggu (7/9/2025).
Menurut Amin Serawak, DPRD Maluku gagal menjalankan fungsi sebagai penengah. Alih-alih menjaga keseimbangan kepentingan adat, lembaga legislatif justru diduga menjadi aktor yang memperkeruh situasi dengan sikap berpihak yang terang-benderang.
“DPRD kini tampak lebih memilih mengamankan modal tambang ketimbang menjaga harmoni sosial. Negara hadir bukan sebagai pelindung, melainkan provokator,” sindirnya.
Tambang Sinabar, Ilusi Pembangunan
Sekretaris Umum Hipda-H itu menegaskan, pembangunan tanpa pengakuan ulayat hanyalah fatamorgana. Tanpa kejelasan status tanah adat, tambang sinabar dikhawatirkan hanya akan menimbulkan kehancuran sosial, ekologis, hingga budaya.
“Masyarakat adat kini berhak bertanya: DPRD bekerja untuk siapa? Rakyat SBB yang menuntut keadilan, atau modal tambang yang haus keuntungan?” tukas Amin Serawak.
Sebagai solusi, Hipda-H mendesak DPRD Kabupaten maupun Provinsi Maluku segera menghentikan manuver politik tambang. DPRD juga dituntut segera melahirkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Ulayat sebagai pondasi keadilan adat.
“Kami menolak tambang tanpa pengakuan ulayat. DPRD harus kembali ke mandatnya: memperjuangkan rakyat, bukan memperdagangkan tanah adat,” pungkas Amin Serawak.
Konteks Historis Polemik Sinabar
Tambang sinabar (cinnabar/air raksa) di wilayah Seram Bagian Barat sudah lama menjadi kontroversi. Catatan sejak awal 2000-an menunjukkan aktivitas penambangan liar marak tanpa izin resmi, menimbulkan kerusakan lingkungan serta gesekan antar masyarakat adat.
Beberapa kali pemerintah daerah bersama aparat keamanan melakukan penertiban, namun aktivitas tambang terus muncul kembali dengan pola baru, termasuk keterlibatan modal besar dari luar daerah. Polemik makin mengeras ketika izin usaha tambang dikaitkan dengan klaim hak ulayat antara Desa Iha dan Luhu, dua komunitas adat yang memiliki sejarah panjang perebutan tanah di pesisir Seram.
Dalam catatan aktivis lingkungan, tambang sinabar di SBB pernah disebut sebagai “sumber konflik laten” yang sewaktu-waktu bisa pecah jika negara tidak hadir secara adil. Polemik terbaru yang melibatkan DPRD Maluku justru dikhawatirkan akan membuka babak baru konflik antar desa, dengan tambang sebagai pemicunya.
1. Konflik Sosial Antar Desa
Legalisasi tambang yang hanya mengakomodasi Desa Iha berpotensi memicu benturan langsung dengan masyarakat Luhu. Konflik horizontal bisa meluas menjadi perpecahan antar marga dan komunitas adat yang punya ikatan sejarah panjang.
2. Kerusakan Lingkungan
Sinabar merupakan mineral beracun (mengandung merkuri). Aktivitas tambang tanpa kajian ekologis mendalam akan meninggalkan kerusakan tanah, pencemaran sungai, hingga ancaman kesehatan bagi masyarakat pesisir.
3. Degradasi Budaya dan Adat
Ketika hak ulayat diabaikan, struktur adat akan terkikis. Rasa memiliki tanah leluhur bisa hilang, memunculkan alienasi sosial, terutama pada generasi muda adat yang merasa tanahnya diperdagangkan oleh negara.
4. Dampak Politik Daerah
Jika DPRD terus dianggap berpihak pada modal tambang, kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif akan runtuh. Hal ini bisa berimbas pada ketidakstabilan politik lokal, bahkan menjadi isu sensitif dalam pemilu berikutnya.
5. Potensi Kriminalisasi Aktivis
Dalam banyak kasus tambang, masyarakat adat dan aktivis lingkungan sering dikriminalisasi. Hipda-H mengingatkan risiko ini jika negara lebih berpihak pada kepentingan modal daripada suara rakyat. (MIM-MDO)