
Maluku, provinsi yang selama ini dikenal sebagai lumbung ikan, menyimpan potensi laut yang luar biasa. Dari tuna, cakalang, udang hingga rumput laut, kekayaan ini seharusnya mampu menempatkan Maluku sebagai episentrum industri perikanan nasional. Namun kenyataannya, selama puluhan tahun hasil laut Maluku lebih banyak keluar dalam bentuk mentah, meninggalkan nilai tambah yang seharusnya dinikmati masyarakat lokal.
Kini pemerintah pusat maupun daerah mulai menatap serius hilirisasi perikanan sebagai jawaban. Tidak cukup hanya menangkap dan menjual ikan segar, tetapi harus mengolahnya langsung di Maluku: menjadi fillet, ikan asap, produk beku, hingga kemasan modern. Inilah kunci mengangkat nilai jual dan membuka peluang ekonomi baru.
“Jika hilirisasi benar-benar berjalan, Maluku tidak lagi sekadar jadi penyedia bahan mentah, tetapi produsen utama produk olahan laut berkualitas ekspor,” tegas Saldi Matdoan, akademisi Universitas Negeri Yogyakarta.
Namun jalan menuju hilirisasi penuh tantangan. Infrastruktur dasar masih rapuh: pelabuhan khusus ikan minim, cold storage terbatas, pabrik pengolahan belum memadai, sementara logistik antarpulau tersendat karena Maluku sendiri adalah provinsi kepulauan. Di sisi lain, produk nelayan kecil kerap gagal memenuhi standar ekspor akibat lemahnya pengetahuan soal penanganan ikan, pengemasan, hingga sertifikasi keamanan pangan.
Oleh: Saldi Matdoan, Akademisi Universitas Negeri Yogyakarta
Meski begitu, peluang ekonomi dari hilirisasi sangat besar. Permintaan global terhadap produk olahan laut—mulai dari abon ikan, ikan asap, hingga rumput laut kering—terus meroket. Jika dikelola serius, Maluku bisa menjadi pintu gerbang ekspor perikanan Indonesia Timur.
Hilirisasi bukan hanya soal industri, tetapi juga soal kesejahteraan. Ribuan lapangan kerja baru akan terbuka, bukan saja di pabrik, tapi juga di rantai logistik, distribusi, pemasaran, hingga pariwisata kuliner. UMKM dan koperasi nelayan bisa dilibatkan langsung agar manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat.
Karena itu, penguatan SDM menjadi keharusan. Nelayan, pelaku UMKM, dan pengusaha lokal butuh pelatihan intensif: bagaimana mengolah, mengemas, hingga memasarkan produk dengan standar modern.
Pemerintah harus hadir lebih dari sekadar wacana. Bantuan alat, pembangunan infrastruktur, insentif usaha, hingga kemitraan dengan investor harus dipercepat. Tetapi semua itu harus dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian laut—penangkapan ikan berlebihan harus dicegah, limbah industri wajib dikelola, agar laut tetap menjadi sumber kehidupan di masa depan.
Jika seluruh elemen bergerak bersama—pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha—maka mimpi menjadikan Maluku sebagai pusat industri perikanan Indonesia Timur bukan lagi ilusi. Ini momentum emas yang tidak boleh hilang.
Maluku tidak boleh lagi hanya jadi penonton di tengah kekayaan lautnya sendiri. Sudah saatnya laut Maluku benar-benar menjadi berkah bagi rakyatnya. (REDAKSI)