
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON– Ambon — Kordinator Wilayah VII Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPI), Ramadan Tuhelelu, mempertanyakan arah dan tujuan Proyek Strategis Nasional (PSN) Maluku Integrated Port (MIP) yang baru-baru ini ramai dibicarakan pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Indonesia Mitra Jaya dan Shanxi Sheng An Co., Ltd di Jepang.
Menurut Tuhelelu, proyek yang dikawal langsung oleh Gubernur Maluku bersama Bupati Seram Bagian Barat ini perlu dikritisi secara serius karena berpotensi tidak hanya menimbulkan dampak ekonomi, tetapi juga sosial dan ekologis yang luas bagi masyarakat pesisir Maluku.
“Apakah MIP ini benar-benar solusi untuk kemajuan, atau justru kolusi yang menguntungkan segelintir korporasi dan elit birokrasi?” tegas Tuhelelu dalam keterangan persnya yang diterima Maluku Indomedia, Kamis (9/10/2025).
Potensi Laut Maluku Jadi Taruhan
Dengan 90% wilayah Maluku berupa laut dan kontribusi potensi ikan mencapai 65% dari total nasional pada semester pertama tahun ini, sektor kelautan dan perikanan semestinya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Namun, proyek MIP justru dinilai akan menggusur ruang hidup para nelayan lokal.
Tuhelelu menyoroti bahwa industrialisasi melalui MIP akan mendorong beroperasinya kapal-kapal besar di atas 80 GT di wilayah perairan WPP 714, 715, dan 718.
“Kalau ini jalan, otomatis seluruh aktivitas perikanan tangkap tradisional akan tergantikan oleh kapal perusahaan. Nelayan kecil dengan kapal di bawah 30 GT akan kehilangan mata pencaharian,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap praktik penangkapan ikan yang berpotensi melanggar PERMEN KKP No. 2/2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik (trawl).
“Kita tahu, banyak kapal perusahaan masih gunakan alat tangkap terlarang. Jadi, di mana letak keberpihakan pemerintah?” tanya Tuhelelu tajam.
Ancaman Ekologis dan Sosial
Selain ancaman ekonomi bagi nelayan kecil, proyek MIP juga disebut berpotensi merusak ekosistem laut akibat penggunaan bahan kimia dalam pembangunan dan operasi pelabuhan terintegrasi.
Kabupaten Seram Bagian Barat sendiri dikenal sebagai salah satu penghasil ikan layang, rumput laut, dan ubur-ubur terbaik di Maluku.
“Kerusakan laut bukan hal baru di Maluku. Kita lihat saja tambang-tambang ilegal yang sampai sekarang tak tertangani. Kalau MIP berjalan tanpa kontrol lingkungan yang ketat, laut kita akan mati,” tegasnya lagi.
MIP dan Paradoks Kemajuan
HIMAPI menilai, MoU di Jepang yang disebut sebagai langkah awal penyusunan studi pendahuluan proyek MIP justru memperlihatkan wajah asli dari “pembangunan elitis” di Maluku — pembangunan yang lebih berpihak pada birokrasi dan korporasi, bukan pada rakyat pesisir.
“MIP ini terlihat seperti proyek prestise birokrasi. Tapi bagi masyarakat bawah, ini ancaman nyata. Jangan-jangan PSN ini bukan Proyek Strategis Nasional, tapi Proyek Strategis Nasionalisasi Korporasi,” sindir Tuhelelu.
Refleksi: Masa Depan Laut Maluku
Dengan merujuk pada UU No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, Tuhelelu menegaskan bahwa kebijakan kuota antara industri dan nelayan kecil harus diawasi ketat agar tidak timpang.
“Kalau pemerintah daerah belum bisa menangani tambang ilegal, bagaimana bisa mengontrol proyek sebesar MIP? Jangan sampai laut Maluku jadi korban keserakahan ekonomi,” tutupnya. (MIM-MDO)