
Industri minyak dan gas (migas) bukan dunia yang bisa dijalankan hanya dengan “common sense” atau kemampuan retorika politik. Dunia migas adalah ekosistem teknis dengan margin kesalahan nol. Memimpin perusahaan migas tanpa kompetensi teknis ibarat tindakan bunuh diri korporasi — yang ironisnya, sering dibiarkan terjadi atas nama politik.
1. Kepemimpinan di Industri Migas: Bukan Sekadar Jabatan
Memimpin perusahaan seperti BUMD Maluku Energy menuntut kapasitas teknis dan manajerial yang terukur, bukan sekadar loyalitas politik. Ini adalah dunia yang bergerak dengan angka, data, risiko, dan keputusan yang berimplikasi miliaran rupiah.
Kepemimpinan yang hanya mengandalkan “koneksi” akan berakhir pada stagnasi dan inefisiensi. Sebaliknya, kepemimpinan berbasis kompetensi adalah fondasi bagi pertumbuhan industri energi yang sehat dan berkelanjutan.
2. Kriteria Wajib Seorang Pemimpin Profesional di Sektor Migas
Untuk menakhodai perusahaan migas, ada tiga kriteria tak bisa ditawar:
a. Pengetahuan Teknis dan Operasional
Memahami rantai penuh industri: dari eksplorasi, produksi, pengolahan, hingga distribusi.
Mampu membaca laporan reservoir, drilling, hingga production forecast.
Memahami standar keselamatan dan lingkungan global seperti ISO, API, dan OSHA.
Oleh: Gerard Wakano
Putra Maluku SBB, 20 tahun pengalaman di industri minyak dan gas
b. Pengalaman Manajemen Risiko dan Keputusan di Bawah Tekanan
Terbiasa mengelola proyek dengan risiko tinggi bernilai ratusan juta dolar.
Memiliki rekam jejak dalam mengambil keputusan cepat dan akurat.
Paham kontrak dan regulasi internasional di sektor energi.
c. Jejaring Global dan Market Intelligence
Terkoneksi dengan pemain utama industri energi dunia.
Memahami dinamika geopolitik dan fluktuasi harga global.
Mampu menarik investasi serta teknologi terbaru ke dalam negeri.
3. Putra Maluku: Kompeten, Tapi Terabaikan
Ironis namun membanggakan — saat BUMD Maluku Energy justru dipimpin oleh figur politis tanpa kompetensi teknis, banyak putra-putra Maluku telah membuktikan diri di kancah global:
Ada insinyur reservoir yang mengoptimalkan lapangan minyak di Timur Tengah.
Geoscientist yang menemukan cadangan baru di Afrika.
Project manager yang memimpin proyek senilai miliaran dolar.
Mereka memiliki kompetensi teknis, pengalaman internasional, dan integritas profesional. Pertanyaannya: kenapa mereka tidak dilibatkan?
4. Loyalitas Politik vs Profesionalisme
Apakah kita lebih percaya pada loyalitas politik daripada rekam jejak profesional?
Apakah kita lebih takut pada tekanan koalisi daripada kehilangan masa depan energi daerah?
Jika alasan “putra daerah” hanya dijadikan kedok untuk menutupi ketidakmampuan, maka langkah yang lebih jujur adalah menggunakan tenaga profesional asing.
Tidak ada yang memalukan dari itu.
Pertamina di awal berdirinya dipimpin oleh ahli-ahli Belanda.
ADNOC (UEA) dan Aramco (Arab Saudi) menggunakan tenaga ahli asing terbaik.
Petronas (Malaysia) pun terbuka dengan kolaborasi global.
Yang memalukan bukan menggunakan tenaga asing — yang memalukan adalah mempertahankan ketidakmampuan.
5. Seruan untuk Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah perlu berani melakukan revolusi mental kepemimpinan.
Tetapkan kualifikasi teknis yang ketat untuk posisi direksi.
Ukur keberhasilan dengan indikator teknis dan finansial yang terukur, bukan kedekatan politik.
Libatkan profesional lokal dan global yang benar-benar paham industri energi.
Kita sedang berada di persimpangan:
Apakah akan terus melanggengkan tradisi “salah orang, salah urus”, atau mulai membangun era baru profesionalisme?
6. Penutup
Masa depan energi Maluku terlalu berharga untuk dikorbankan di altar kepentingan politik jangka pendek.
Pilihan ada di tangan kita:
Pilihan gagal: politisi yang tak paham perhitungan cadangan migas tapi sibuk beretorika.
Pilihan sukses: profesional sejati — baik putra Maluku berpengalaman global, maupun tenaga ahli asing — yang bekerja dengan integritas dan kompetensi.
Kini saatnya Maluku Energy dipimpin oleh mereka yang benar-benar mengerti energi.
Bukan sekadar yang dekat dengan kekuasaan. (REDAKSI)