
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON, MalukuIndomedia.com — Dunia sedang bergerak menuju era baru. Tatanan global tak lagi unipolar, tetapi multipolar — diwarnai rivalitas Amerika, China, Rusia, dan BRICS, disertai krisis iklim, konflik Ukraina, hingga ketegangan di Timur Tengah. Dalam pusaran perubahan ini, Gereja Protestan Maluku (GPM) tampil meneguhkan diri sebagai kekuatan moral yang lahir dari lautan timur Indonesia.
Sidang Sinode GPM ke-39 menjadi momentum reflektif sekaligus strategis. Bagi GPM, sidang kali ini bukan sekadar urusan internal gereja, melainkan ajakan untuk membangun peran baru: dari gereja lokal menjadi suara profetik global.
“Sidang ini bukan sekadar forum rutin, tetapi panggilan untuk meneguhkan suara Maluku sebagai pusat moral dan spiritual di kawasan Pasifik,” tegas Theofransus Litaay, SH, LLM, Ph.D, Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Intelejensia Kristen Indonesia (PIKI).
Dengan sejarah panjang melewati perang, kemerdekaan, hingga rekonsiliasi pasca konflik, GPM telah membuktikan diri sebagai laboratorium perdamaian yang hidup. Nilai Pela Gandong dan Salam-Sarane menjadi kearifan lokal yang kini menemukan relevansi baru bagi dunia yang terpecah oleh kepentingan.
Saat Maluku mulai diperhitungkan sebagai bagian dari Pasifik, GPM dipanggil untuk mengembangkan Teologi Pasifik dan Teologi Maritim — paradigma baru yang menegaskan panggilan gereja terhadap keadilan sosial, perdamaian, dan keberlanjutan bumi.
“Dari Maluku untuk Indonesia, dari Indonesia untuk Pasifik, dan dari Pasifik untuk dunia — GPM harus menjadi suara profetik yang menginspirasi dan mentransformasi,” pungkas Litaay.
Sidang Sinode ke-39 bukan hanya agenda rohani, tetapi pernyataan moral bahwa Gereja Protestan Maluku siap berdiri di garis depan perdamaian, dari lautan Maluku yang biru untuk dunia yang sedang bergejolak. (MIM-MDO)