
MALUKU INDOMEDIA.COM– Pada tanggal 28 Agustus 2025, Gerakan Mahasiwa Kristen Indonesia Cabang Ambon Komisariat Politeknik melakukan kegiatan mengabdi di Desa Persiapan Imabatai, Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat. Kegiatan tersebut berlangsung selama lima hari (28 Agustus – 01 september 2025).
Dalam kegiatan GMKI mengabdi, ada beberapa kegiatan yang hendak di jalankan oleh panitia dan salah satu kegiatan yang dibawahkan oleh penulis yakni Sosialisasi tentang “Problematika Hukum Desa Persiapan Imabatai”
Desa Persiapan: Jembatan yang Belum Selesai
Desa Persiapan adalah inovasi kebijakan dari UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ia hadir sebagai jembatan menuju Desa Definitif, dengan masa uji coba 1–3 tahun. Filosofinya jelas: pemekaran desa harus diuji dulu kelayakannya agar benar-benar siap, tidak asal dimekarkan.
Namun, idealisme itu sering kali terjebak dalam birokrasi yang lamban dan regulasi yang kaku. Kisah Desa Persiapan Imabatai di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, menjadi contoh nyata bagaimana aturan justru bisa melukai rasa keadilan masyarakat.
Imabatai adalah desa persiapan di wilayah pegunungan Kecamatan Inamosol. Untuk menuju desa induknya, warga harus menempuh perjalanan 5 kilometer (km) dengan berjalan kaki melalui jalan yang masih tanah bebatuan ditengah-tengah hutan. Dalam kondisi darurat, seperti sakit atau butuh dokumen cepat, akses ini benar-benar menyulitkan. Kalau ada orang sakit berat atau ibu hamil, harus digotong dari kampung ke puskesmas di kecamatan dan itu jaraknya sangat jauh sekali jika ditempuh dengan jalan kaki. Anak-anak sekolah harus bangun pukul 05.00 pagi untuk berangkat ke sekolah SMP di Desa induk karena harus menempuh perjalanan 5 km.
Oleh: Josias Tiven, S.H.
(Mantan Ketua GMKI Cabang Ambon masa bakti 2020-2022)
Hal ini tidak dirasakan saja oleh Desa Persiapan Imabatai, namun ada Desa-Desa lain yang berada seperti hukuanakota, abio, huku kecil, ahiolo, watui, dan desa lainnya yang berada di Pegunungan Pulau Seram turut merasakan hal yang sama yakni belum memiliki akses jalan yang memadai.
Bertlian dengan ini, maka kehadiran Desa Persiapan bukan soal status administratif belaka. Ia adalah kebutuhan riil: menghadirkan pelayanan publik, kesehatan, pendidikan lebih dekat, cepat, dan terjangkau bagi masyarakat pegunungan.
Syarat Jumlah Penduduk: Angka yang Tidak Fleksibel
Permasalahan lain muncul dari syarat penduduk. Permendagri No. 1 Tahun 2017 Pasal 7 ayat (8) huruf b angka 8menetapkan bahwa pembentukan desa di Maluku, NTT, dan Maluku Utara mensyaratkan paling sedikit 1.000 jiwa atau 200 KK.
Sayangnya, Imabatai belum mencapai angka itu. Dari sisi regulasi, desa ini tidak layak. Tetapi apakah adil jika aturan kuantitatif diberlakukan seragam tanpa mempertimbangkan kondisi geografis pegunungan?
Praktik di lapangan membuktikan fleksibilitas itu ada. Pulau Miangas di Sulawesi Utara tetap menjadi desa meski jumlah penduduknya jauh di bawah syarat, karena posisinya strategis sebagai pulau terluar. Demikian pula di Papua dan Kepulauan Riau, desa-desa kecil tetap ditetapkan dengan alasan pelayanan publik dan keamanan perbatasan.
Jika di perbatasan negara saja syarat bisa disesuaikan, mengapa masyarakat pegunungan di Seram yang berjalan belasan bahkan puluhan kilometer ke desa induk dan ke pusat kecamatan tidak bisa mendapat perlakuan khusus?
Bahwa secara hukum ada ruang fleksibilitas yang diberikan oleh UU Desa dan Permendagri:
1. Kondisi Geografis Khusus
Untuk daerah kepulauan, terpencil, atau sulit dijangkau, syarat penduduk bisa dikecualikan/dikecilkan. Hal ini merujuk pada asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa, yaitu negara mengakui eksistensi komunitas lokal meskipun secara kuantitatif tidak ideal.
2. Praktik di Lapangan
Ada desa persiapan di pulau-pulau kecil yang jumlah warganya hanya ratusan jiwa tapi tetap ditetapkan sebagai desa persiapan karena alasan strategis (misalnya pulau terluar, perbatasan, atau demi pelayanan publik).
2. Diskresi Pemerintah Daerah
Bupati bisa menggunakan diskresi (Pasal 22 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan) dengan pertimbangan tertentu → lalu tetap mengajukan Ranperbup Desa Persiapan untuk fasilitasi ke Gubernur.
Terhadap penjelasan diatas, maka jika Gubernur menyetujui, imabatai bisa tetap dijadikan desa persiapan meski jumlah penduduk di bawah syarat minimal.
Pejabat Desa Persiapan Taat, Pemkab SBB Justru Lalai
Yang membuat situasi semakin ironis adalah fakta bahwa Penjabat Kepala Desa Persiapan Imabatai konsisten menyampaikan laporan evaluasi setiap 6 bulan ke Pemkab SBB.
Padahal, Permendagri No. 1 Tahun 2017 Pasal 22 ayat (3) jelas menyebut:
“Evaluasi Desa Persiapan dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali oleh Bupati/Wali Kota untuk menilai perkembangan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.”
Artinya, pihak desa sudah melaksanakan kewajiban administratif sesuai aturan. Mereka sudah taat melapor, menyiapkan data kependudukan, pelayanan dasar, hingga kelembagaan desa.
Namun, laporan itu tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh Pemkab. Ketika kemudian status desa dinyatakan kadaluarsa, seolah-olah masyarakat yang salah. Padahal, bukti administrasi menunjukkan desa sudah patuh, sementara pemerintah daerah justru abai.
Regulasi yang Membelenggu, Birokrasi yang Lalai
Gubernur Maluku sudah menerbitkan nomor register untuk 11 Desa Persiapan pada 2017–2018. Tetapi Pemkab SBB baru menindaklanjutinya pada 2021, melewati batas 3 tahun masa uji coba. Lalu, pada Januari 2025, Sekda Maluku menyatakan status itu kadaluarsa.
Secara hukum positif, keputusan itu sah. Tetapi secara sosiologis, masyarakat menjadi korban. Mereka sudah melaksanakan kewajiban, merasakan manfaat Desa Persiapan, dan pejabat desanya rajin melapor setiap 6 bulan. Yang lalai justru birokrasi daerah.
Dalam asas hukum administrasi, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa rakyat tidak boleh dirugikan akibat kelalaian pemerintah. Asas kecermatan dan proporsionalitas jelas dilanggar dalam kasus ini.
Jalan Keluar: Dari Administratif hingga Politik
Ada tiga jalur solusi yang bisa ditempuh:
1. Administratif – Pemkab SBB segera mengusulkan ulang nomor register kepada Gubernur Maluku, dengan melampirkan laporan 6 bulanan yang sudah konsisten dibuat.
2. Politik – DPRD SBB dan DPRD Maluku memberikan rekomendasi politik agar desa persiapan diberi kesempatan kembali. Aspirasi warga harus diperjuangkan.
3. Hukum – Jika langkah administratif dan politik gagal, masyarakat bisa menggugat keputusan Sekda Maluku ke PTUN. Namun jalur ini panjang dan mahal.
Penutup: Jangan Korbankan Warga Pegunungan
Kasus Desa Persiapan Imabatai adalah cermin betapa hukum yang kaku dan birokrasi yang lalai bisa melukai rasa keadilan. Warga yang harus berjalan kaki 5 kilometer ke desa induk, pejabat desa yang konsisten melapor setiap 6 bulan, kini menghadapi status “kadaluarsa” hanya karena kelalaian pemerintah daerah.
Jika negara bisa memberi fleksibilitas untuk desa di pulau terluar atau perbatasan, mengapa tidak untuk desa pegunungan di Seram yang jelas-jelas membutuhkan pelayanan dasar?
Desa Persiapan seharusnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan, bukan jebakan yang berujung pada pembatalan. Negara perlu hadir bukan hanya dengan regulasi, tetapi juga dengan keadilan dan keberpihakan nyata kepada masyarakat yang hidup dalam keterbatasan. (REDAKSI-MIM)