
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON— Bara penolakan muncul dari lima tokoh adat dan pemerintah negeri Sudara terhadap rencana pembangunan Batalyon TNI di wilayah dataran Kawa, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Mereka menilai proyek tersebut menyerobot wilayah adat yang secara turun-temurun menjadi petuanan Negeri Neniari Gunung dan negeri-negeri Sudara lainnya.
Lima tokoh adat yang menyuarakan penolakan keras tersebut antara lain Piter Rumasoal (Raja Negeri Neniari Gunung), Simon Matital (Raja Negeri Nuruwe), Asher Lekalaete (Raja Negeri Neniari Piru), Yonasab Kabaresi/Matital Kolly (Raja Negeri Wakolo), bersama sejumlah raja dan saniri lengkap dari negeri-negeri Sudara. Mereka menegaskan, lahan seluas 60 hektar di wilayah binaba, Wai Seke, dan sekitarnya merupakan bagian sah dari petuanan adat yang diatur oleh leluhur mereka sejak ratusan tahun lalu.
“Kami tidak menolak TNI, tapi kami menolak pengabaian terhadap hak-hak ulayat kami,” tegas Simon Matital, Raja Negeri Nuruwe. “Pemerintah Negeri Kawa telah mengambil keputusan sepihak tanpa melibatkan negeri-negeri Sudara yang menjadi bagian dari kesatuan masyarakat hukum adat Sisine Nenali Nuruwe Lumabotoi.”
Para raja dan saniri menilai, pembangunan tanpa konsultasi adat berpotensi menimbulkan konflik sosial baru. Mereka menyebut bahwa wilayah Seke dan sekitarnya telah lama menjadi lahan pertanian dan perkebunan produktif, ditanami kelapa, pala, dan tanaman lainnya oleh masyarakat setempat.
Lebih jauh, para tokoh adat mengingatkan bahwa wilayah tersebut juga memiliki nilai sejarah dan spiritual tinggi. Salah satu pemimpin adat terdahulu, Nikodemus Lumatalale (Kastuli), yang gugur melawan Jepang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Surabaya, pernah memimpin perkampungan di lokasi tersebut sebelum Indonesia merdeka.
“Wai Seke sudah menjadi dasar Negeri Neniari sejak 1943, di bawah pimpinan Kapitan Pattihua Lumatalale yang bergelar Upu Rumasoal Hena Nenali Nuruwe Lumabotoi,” ungkap Piter Rumasoal, Raja Negeri Neniari Gunung. “Ada pelayanan gereja rutin, ada warga, ada kebun, artinya ini bukan tanah kosong.”
Melalui pernyataan resmi yang dikirimkan via WhatsApp kepada MalukuIndomedia.com, para pemimpin adat dan masyarakat hukum adat Sisine Nenali Nuruwe Lumabotoi mendesak Dandim, Danrem, Pangdam XVI/Pattimura, Pemerintah Provinsi Maluku, Pemkab SBB, hingga Kementerian Pertahanan RI untuk meninjau ulang penetapan lahan tersebut.
“Kami hanya meminta keadilan dan penghormatan terhadap kesepakatan adat leluhur. Jangan sampai niat baik membangun justru melahirkan gejolak sosial,” tulis pernyataan itu menutup.
MalukuIndomedia.com masih berupaya mengonfirmasi pihak Pemerintah Negeri Kawa serta Komando Daerah Militer XVI/Pattimura terkait tudingan penyerobotan lahan adat ini. Hingga berita ini diturunkan, pihak-pihak terkait belum memberikan tanggapan resmi. (MIM-MDO)