
Di sudut timur Indonesia, di bawah langit biru dan laut yang jernih, tanah Kei dahulu bicara dalam bahasa yang tak tertulis: Hawear. Sebuah hukum yang tidak tercetak di lembaran negara, tetapi terpatri dalam jiwa mereka yang hidup bersetia pada warisan leluhur. Dalam falsafah Larvul Ngabal, hidup bukan sekadar keberadaan manusia, melainkan jalinan harmoni antara yang hidup, yang mati, dan yang tidak bersuara: tanah, laut, dan hutan. Hukum adat tidak lahir dari pena kekuasaan, melainkan dari kesadaran batin, dari getaran jiwa yang menyatu dengan alam.
Hawear bukan sekadar larangan, tetapi denyut nadi peradaban. Ia diikrarkan dalam ritus, dijaga dengan takut yang
penuh cinta, dan ditanam dalam diam yang bersuara. Namun kini, diam itu berubah menjadi jeritan. Setelah Raja Ampat dilukai, Kepulauan Kei menyusul dirobek. Deru mesin tambang menggantikan suara burung laut dan nyanyian adat. Tanah yang dahulu disapa dengan doa dan dijaga dengan pantangan kini dilubangi, dipatok, dan diserahkan pada hasrat yang tak mengenal batas.
Penulis: M. Akhwandany Uwar
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Kedaulatan atas tanah berpindah dari rakyat penjaga warisan kepada meja-meja yang tak mengenal ikatan batin. Tanah yang diwariskan untuk dijaga kini disulap menjadi angka dalam neraca investasi. Leluhur dipinggirkan, dan nama-nama suci dijadikan data statistik. Nama-nama pemilik modal mulai bergema dalam bisik-bisik dan spanduk protes. Di antaranya, disebutlah Haji Isam. Bukan sekadar nama, melainkan tanda bahwa tanah ini kini ditandai oleh kehadiran kekuatan yang asing bagi hukum adat.
Kehadiran yang membawa mesin, bukan mantra. Laporan, bukan petuah. Kekuasaan, bukan kekerabatan. Di tengah luka itu, kata-kata Eka Dahlan Uar mengetuk kesadaran. Ia menulis bahwa Hawear adalah kaidah yang berpijak pada asas keseimbangan dan pelestarian. Hukum ini menjaga agar manusia tidak melupakan rumah asalnya: bumi tempat ia berpijak, laut tempat ia mencari makan, dan hutan tempat ia bernaung. Dalam petuah it dok foo hoi itmian fo nuhu, tertanam pengingat bahwa manusia tidak pernah berdiri sendiri. Ia terhubung, terikat, dan tertanam dalam tanah yang
memberinya hidup.
Alam bukan objek untuk dikuasai, tetapi sesama yang mesti dihormati. Bila alam dilukai, manusia pun ikut kehilangan dirinya. Hawear, dalam pandangan ini, bukan sekadar aturan adat. Ia adalah janji kesetiaan hidup antara manusia dan tanah. Sebuah ikrar batin yang mengikat jiwa dengan alam semesta. Sebuah benteng moral yang menahan arus kerakusan, mengingatkan manusia bahwa tidak semua yang bisa diambil pantas untuk diambil. Pelanggaran terhadap Hawear bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap tatanan kehidupan itu sendiri. Maka tak heran jika masyarakat adat percaya bahwa petaka akan menimpa mereka yang melanggarnya, karena ia telah merobek jaring
halus yang menopang semesta.
Namun kini, Hawear digugat oleh logika yang asing. Logika yang mengukur tanah dari kandungan mineralnya, bukan dari makna hidup yang dikandungnya. Dalam logika ini, desa bisa dikosongkan, laut bisa dipagari, dan hutan bisa ditebang asal ada izin dan keuntungan. Hukum adat dijadikan simbol tanpa daya dalam kerangka hukum negara. Ia kehilangan kuasanya di hadapan surat izin dan rencana bisnis. Padahal luka pada alam ini bukan sekadar kerusakan lingkungan. Ia adalah luka budaya, luka spiritual, luka identitas. Ketika tanah leluhur dijadikan lahan industri dan adat hanya menjadi hiasan seremoni, maka yang hancur bukan hanya pohon dan batu karang, tetapi juga ingatan kolektif sebuah bangsa yang pernah hidup dalam keselarasan.
Ini bukan sekadar konflik antara adat dan industri. Ini adalah benturan dua pandangan hidup: yang satu memuliakan tanah sebagai ibu, yang lain memperlakukannya sebagai barang dagangan. Kita hidup dalam zaman ketika suara tanah dikalahkan oleh suara modal. Ketika petaka tak lagi datang dari pelanggaran adat, melainkan dari keputusan birokrasi. Maka pertanyaannya kini bukan hanya soal hukum atau lingkungan, melainkan soal siapa kita, dan ke mana kita berpihak.
Kita berdiri di persimpangan sejarah.
Apakah akan terus menyanjung pembangunan yang mencabut akar, atau kembali mendengarkan suara paling tua yang hidup dalam Hawear? Suara yang berkata: jaga tanah ini sebagaimana engkau menjaga hidupmu sendiri, sebab antara manusia dan alam tidak pernah ada jarak. Hanya ada hubungan. Dan bila hubungan itu dirusak, maka kesunyian panjang akan datang, membawa kehilangan yang tidak tergantikan*