
MALUKU INDOMEDIA.COM, SBB– Masyarakat Seram Bagian Barat (SBB) kini dihadapkan pada persoalan serius terkait praktik investasi PT. SIM yang menuai sorotan tajam. Kontrak lahan yang ditawarkan perusahaan tersebut dinilai sangat merugikan pemilik lahan, bahkan dianggap sebagai bentuk penipuan yang mengabaikan martabat masyarakat adat.
Berdasarkan informasi yang diterima Maluku Indomedia, PT. SIM hanya membayar Rp 5 juta per hektar untuk masa kontrak 35 tahun. Jika dihitung, pemilik lahan hanya menerima Rp 142.857 per tahun. Angka ini sangat kecil – jauh lebih rendah dibanding hasil menanam kasbi di lahan 20×20 meter yang bisa dipanen beberapa kali setahun dengan nilai ekonomi lebih tinggi.
Adhy Manuputty, salah satu tokoh masyarakat, menegaskan persoalan ini bukan sekadar soal angka, tetapi menyangkut keberlanjutan hidup masyarakat adat di bumi Saka Mese Nusa.
“Bagaimana mungkin perusahaan yang mengaku ingin berinvestasi demi kesejahteraan justru membuat kontrak yang mencekik pemilik lahan sendiri? Ini jelas merendahkan martabat masyarakat adat,” tegasnya.
Ironisnya, hanya karena sengketa 15 hektar lahan yang bermasalah, ratusan hektar lahan lain yang seharusnya produktif ikut terhenti. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: ada apa sebenarnya dengan PT. SIM? Apakah konflik kecil sengaja dijadikan alasan untuk menekan masyarakat dan pemerintah daerah, atau ada masalah manajemen internal yang disembunyikan?
Di sisi lain, publik juga menyoroti peristiwa pembakaran dua unit alat berat milik PT. SIM oleh orang tak dikenal. Hingga kini, kasus tersebut masih gelap. Masyarakat mendesak aparat penegak hukum mengungkap secara transparan siapa dalang di balik aksi itu—apakah murni kriminal, bentuk protes masyarakat, atau justru ada kepentingan lain yang bermain.
Situasi ini semakin memperkuat desakan agar pemerintah daerah, DPRD, dan aparat berwenang segera turun tangan. Kontrak yang merugikan rakyat tidak boleh dibiarkan, dan praktik investasi yang tidak sehat harus dihentikan sebelum menimbulkan konflik lebih luas.
Masyarakat SBB menuntut keadilan dan perlindungan negara. Jangan sampai investasi hanya menjadi kedok untuk menguras sumber daya, sementara rakyat adat menjadi korban di tanah mereka sendiri. (MIM-CN)