
Seleksi PPPK di Maluku Barat Daya semestinya menjadi pintu harapan bagi banyak tenaga honorer yang puluhan tahun mengabdi tanpa kepastian. Namun, harapan itu kini justru berubah menjadi luka.
Banyak cerita beredar di tengah masyarakat: ada yang merasa cacat administrasi tetapi tetap lolos, ada yang punya rekam jejak tidak sesuai aturan namun tiba-tiba masuk daftar, sementara mereka yang sudah mengabdi puluhan tahun justru tersingkir. Cerita ini tidak sekadar keluhan, melainkan bukti awal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam mekanisme seleksi.
Jika benar ada pemalsuan dokumen, maladministrasi, dan penyalahgunaan kewenangan, maka persoalan ini bukan sekadar “human error”, melainkan dugaan tindak pidana yang harus diusut. Daerah 3T seperti Maluku Barat Daya sudah terlalu sering diperlakukan sebagai tanah kosong yang bisa dimainkan sesuka hati oleh oknum.
Lebih parahnya, masyarakat yang ingin bersuara justru mengalami intimidasi. Banyak yang akhirnya hanya berani mengirimkan bukti dan informasi lewat jalur pribadi, karena takut dengan ancaman. Ini situasi yang sangat berbahaya: demokrasi lokal kita seakan dipasung oleh ketakutan, sementara hukum seperti tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Karena itu, ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan:
1. Transparansi penuh: seluruh dokumen dan proses seleksi harus dibuka agar publik bisa menilai.
2. Pengawasan independen: Ombudsman, DPRD, aparat penegak hukum, hingga pers wajib turun tangan, bukan hanya diam.
3. Penegakan hukum tegas: bila terbukti ada permainan, maka proses pidana wajib ditempuh, tanpa pandang bulu.
Seleksi PPPK bukan sekadar angka di atas kertas. Ini menyangkut masa depan anak-anak daerah, menyangkut keadilan sosial, dan menyangkut martabat kita sebagai bangsa. Bila praktik kotor ini dibiarkan, maka kita sedang mengajarkan generasi muda bahwa kecurangan lebih dihargai daripada pengabdian.
Maluku Barat Daya tidak boleh menjadi ladang eksperimen bagi oknum yang haus kuasa. Supremasi hukum harus ditegakkan, sekarang juga, atau kita akan menyaksikan hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap negara.
NIKOLAS OKMEMERA, SH.Cpc.CNs.ChteacH.CPs
( Advokat & Penulis Opini )
Seleksi PPPK dan Dugaan Kecurangan: Ancaman bagi Supremasi Hukum dan Keadilan di Daerah 3T
Proses seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sejatinya dirancang untuk memberikan kesempatan yang adil bagi para tenaga honorer dan masyarakat di daerah. Prinsip merit system, transparansi, dan akuntabilitas menjadi ruh utama dari rekrutmen aparatur negara. Namun, di Kabupaten Maluku Barat Daya, proses ini justru mencuatkan persoalan serius yang mengancam nilai-nilai keadilan dan supremasi hukum.
Berdasarkan laporan masyarakat yang diterima, terdapat dugaan kuat bahwa sejumlah peserta seleksi PPPK diloloskan meskipun dokumen administrasinya cacat atau bahkan diduga dipalsukan. Lebih jauh, ada indikasi bahwa oknum pejabat pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) diduga ikut terlibat dalam praktik penyalahgunaan wewenang untuk meloloskan pihak-pihak tertentu. Dugaan praktik kotor ini bukan hanya merusak proses seleksi, tetapi juga melukai kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Yang lebih memprihatinkan, masyarakat yang mengetahui fakta-fakta tersebut justru mengalami intimidasi dan ancaman, sehingga mereka takut bersuara. Akibatnya, bukti-bukti dan informasi hanya bisa disampaikan secara tidak langsung melalui jalur pribadi, bukan secara terbuka di ruang publik. Fenomena ini jelas menggambarkan betapa rapuhnya posisi rakyat kecil di hadapan kuasa birokrasi di daerah 3T.
Dari perspektif hukum, praktik semacam ini tidak bisa dibiarkan. Dugaan pemalsuan dokumen jelas melanggar Pasal 263 KUHP, sementara penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dapat dijerat dengan Pasal 421 KUHP maupun ketentuan dalam UU Tipikor. Di sisi lain, perbuatan ini juga merupakan bentuk nyata dari maladministrasi, sebagaimana diatur dalam UU Ombudsman.
Namun, persoalan ini bukan semata-mata soal hukum positif. Lebih dari itu, persoalan ini adalah cermin ketidakadilan struktural. Masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) seringkali menjadi korban praktik oligarki kecil di tingkat daerah, di mana proses rekrutmen ASN/PPPK hanya dijadikan alat untuk melanggengkan kepentingan kelompok tertentu.
Supremasi hukum menuntut agar kasus seperti ini tidak berhenti di meja administrasi, melainkan diproses secara pidana. Aparat penegak hukum harus turun tangan melakukan penyelidikan, memanggil para pihak terkait, menyita dokumen, serta memberikan perlindungan kepada saksi dan pelapor. Tanpa langkah tegas, keadilan hanya akan menjadi jargon kosong, sementara ketidakadilan terus merajalela.
Momentum seleksi PPPK seharusnya menjadi jalan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik, bukan justru merusaknya. Negara hadir bukan untuk membiarkan praktik kotor mengakar, melainkan untuk memastikan bahwa setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi secara sehat dan adil.
Oleh karena itu, saya menyerukan kepada Kepolisian, Ombudsman, BKN, dan KemenPAN-RB untuk segera melakukan investigasi menyeluruh atas dugaan kecurangan seleksi PPPK di Maluku Barat Daya. Tindakan tegas diperlukan agar kasus ini menjadi pelajaran bersama: bahwa hukum berlaku sama bagi semua, tanpa pandang bulu, termasuk bagi pejabat sekalipun.
Keadilan tidak boleh dikalahkan oleh intimidasi. Supremasi hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan kelompok. Dan proses seleksi ASN/PPPK harus tetap menjadi ruang meritokrasi, bukan arena rekayasa kepentingan. (REDAKSI)