
MALUKU INDOMEDIA.COM, Ambon– Polemik SK Bupati Kepulauan Tanimbar kembali menyeruak. Empat nama pendamping desa akhirnya resmi di-PHK oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) RI, setelah terbukti merangkap jabatan (double job) dengan masuk ke dalam SK Bupati Tanimbar Nomor 1003-1727 Tahun 2025.
Koordinator Provinsi Maluku, Ibrahim Sella, menegaskan bahwa proses pemecatan ini bukan tanpa dasar. Keputusan tersebut diambil setelah melalui mekanisme resmi yang mengacu pada Keputusan Menteri Desa No. 143 Tahun 2022 dan hasil sidang klarifikasi yang juga melibatkan Bidang Penanganan Masalah di Jakarta.
Kronologi PHK 4 Pendamping Desa
Dalam klarifikasi yang digelar secara daring, para Tenaga Pendamping Profesional (TPP) diberi kesempatan untuk memilih antara tetap bersama Kemendes atau bertahan dalam SK Bupati. Batas waktu diberikan hingga 1 Agustus 2025.
Dari 5 orang yang terseret dalam kasus ini, hanya Nepin Luturmas, SE yang menyatakan mundur dari SK Bupati melalui surat pernyataan tertanggal 28 Juli 2025.
Sementara itu, empat orang lainnya tidak menyampaikan pengunduran diri hingga batas waktu yang ditentukan.Akibatnya, pada 20 Agustus 2025, Kemendes PDTT mengeluarkan Surat PHK resmi dengan nomor sebagai berikut:
1. Nomor 924/PHK/P3MD/PPK-III/VIII/2025 atas nama John Ecberth Lewerissa
2. Nomor 925/PHK/P3MD/PPK-III/VIII/2025 atas nama Josephus Christy Matapere
3. Nomor 926/PHK/P3MD/PPK-III/VIII/2025 atas nama Benoni Julianus Weringkukly
4. Nomor 927/PHK/P3MD/PPK-III/VIII/2025 atas nama Karel Waratmas
Dengan keluarnya surat-surat tersebut, keempatnya resmi diberhentikan sebagai Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang dikontrak oleh Kemendes PDTT.
“Keputusan ini jelas. Dalam kontrak disebutkan tidak boleh ada pekerjaan lain di luar tugas pendamping. SK Bupati itu masuk kategori double job, dan berdasarkan kajian, mereka dinyatakan melanggar kontrak. Karena itu, PHK mutlak dilakukan,” tegas Ibrahim Sella.
Kasus ini semakin menegaskan bahwa SK Bupati Tanimbar cacat prosedural. Bernardus Turlel, mantan TAPM yang sudah di-PHK sejak 2022, diduga menjadi aktor di balik keterlibatan empat nama tersebut dalam SK bermasalah ini.
Fakta ini menelanjangi adanya praktik penyalahgunaan wewenang, nepotisme, serta dugaan politik balas jasa yang mengorbankan para pendamping desa.
Pengamat tata kelola desa menilai DPRD Kepulauan Tanimbar tidak boleh tinggal diam. Jika tidak segera dievaluasi, kasus serupa berpotensi merusak tata kelola pemerintahan desa dan memboroskan anggaran negara.
“PHK ini menjadi bukti bahwa SK Bupati tidak hanya cacat hukum, tapi juga menjerumuskan orang lain menjadi korban. DPRD wajib mengusut, jangan sampai kasus ini ditutup-tutupi,” ujar seorang pemerhati.
Fakta ini menegaskan kembali: SK Bupati Tanimbar bukan sekadar dokumen bermasalah, melainkan pintu masuk praktik double job, nepotisme, hingga penyalahgunaan kekuasaan yang harus segera diberantas demi integritas pemerintahan desa. (MIM-MDO)