
MALUKU INDOMEDIA.COM, Ambon– Skandal SK Bupati Kepulauan Tanimbar kian memanas. Fakta terbaru menunjukkan bahwa Bernardus Turlel, mantan Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) yang sudah resmi di-PHK sejak 2022, kembali berulah dengan menyeret empat rekannya masuk ke dalam SK Bupati tentang Pendamping Profesional Desa tahun 2025.
Padahal, Bernardus Turlel telah dipecat oleh Kementerian Desa PDTT RI melalui surat resmi Nomor 018/PPKVI/P3MD-P/III/2022 karena terbukti melanggar Kode Etik Pendamping Desa. Pelanggaran itu meliputi penyalahgunaan jabatan, menerima imbalan di luar tugas, menjadi perantara bisnis yang memicu konflik kepentingan, hingga merekayasa administrasi pembayaran desa.
Akibat ulah Bernardus, empat nama yang masuk ke dalam SK Bupati bersama dirinya kini harus menanggung konsekuensi pahit: diberhentikan dari jabatan pendamping desa. Padahal, mereka sebelumnya tidak pernah tersangkut kasus etik seberat Bernardus.
“Ini jelas bentuk penyalahgunaan pengaruh. Bernardus menggunakan celah politik untuk mengamankan dirinya, sekaligus menyeret teman-temannya yang justru ikut menjadi korban,” ungkap pemerhati kebijakan desa, Sumitro, kepada Maluku Indomedia.
SK Cacat Prosedural dan Sarat Kepentingan
SK Bupati Tanimbar Nomor 1727 Tahun 2025 kini terbukti cacat prosedural. Selain melibatkan mantan TAPM bermasalah, proses rekrutmen juga mengabaikan Permendesa PDTT No. 19 Tahun 2020 yang mewajibkan mekanisme seleksi dilakukan secara nasional dan transparan.
Kajian hukum bahkan menilai SK ini berpotensi melanggar sejumlah regulasi penting, termasuk UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN, serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Kalau dibiarkan, ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga korupsi terselubung dan nepotisme terang-terangan. SK ini jelas-jelas merusak tata kelola pemerintahan daerah,” tegas Sumitro.
Desakan keras kini ditujukan kepada DPRD Kepulauan Tanimbar untuk segera mengambil langkah. SK bermasalah ini dinilai sebagai pemborosan anggaran daerah sekaligus bentuk pelecehan terhadap aturan hukum yang berlaku.
“DPRD harus segera memanggil Bupati dan membatalkan SK ini. Kalau tidak, Tanimbar akan terus terjebak dalam lingkaran politik balas jasa dan penyalahgunaan kekuasaan,” tutup Sumitro.
Fakta ini bukan hanya membuka cacat prosedural SK Bupati Tanimbar, tetapi juga menelanjangi praktik tata kelola yang berpotensi sarat kepentingan, nepotisme, bahkan penyalahgunaan kekuasaan. (MIM-MDO)