
MALUKU INDOMEDIA.COM, AMBON- Rencana ambisius Pemerintah Provinsi Maluku membangun Maluku Integrated Port (MIP) kini berubah menjadi bara kemarahan rakyat. Di balik gemerlap janji investasi senilai 50 juta dolar AS, publik justru mencium aroma gelap: ketertutupan, kepentingan politik, dan dugaan pengkhianatan terhadap rakyat.
Sorotan tajam datang dari aktivis muda Maluku, Friady Toisuta, yang menuding Gubernur Hendrik Lewerissa bermain di ruang sunyi penuh rahasia. Menurutnya, penandatanganan MoU antara Pemprov Maluku, PT IMJ, dan Shanxi Sheng’an Co., Ltd di Osaka, Jepang, dilakukan tanpa partisipasi publik maupun penjelasan resmi.
“Kalau MoU itu benar-benar untuk rakyat, kenapa disembunyikan? Kami curiga ada keuntungan pribadi di balik meja. Jangan sampai rakyat Maluku dijual ke Jepang tanpa tahu isi perjanjiannya,” tegas Friady dengan nada keras, Minggu (19/10/2025).
Proyek yang digadang sebagai pelabuhan modern berstandar internasional — lengkap dengan terminal peti kemas dan kapal Ro-Ro — justru berubah menjadi simbol ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Bagi sebagian warga, diamnya Pemprov soal isi perjanjian itu adalah penghinaan terhadap transparansi dan akal sehat publik.
“Jangan bungkus pengkhianatan dengan label pembangunan,” seru seorang aktivis mahasiswa di Ambon yang kini ikut menyulut gelombang protes di media sosial.
Friady menambahkan, “Kami tidak menolak investasi, tapi jangan jadikan rakyat korban. Kalau pemerintah yakin proyek ini bersih, buka dokumennya di depan publik!”
Sementara itu, Gubernur Hendrik Lewerissa dalam konferensi pers sebelumnya menyebut MoU tersebut sebagai “langkah besar menuju kemajuan Maluku.”
“Ini bukti keseriusan kita membangun Maluku agar sejajar dengan daerah lain,” ujarnya santai.
Namun pernyataan itu justru mempertebal jurang ketidakpercayaan. Di tengah krisis legitimasi publik, pemerintah dinilai abai terhadap kegelisahan warganya. Hingga kini, tak satu pun dokumen resmi MoU dipublikasikan, sementara rumor keterlibatan elite politik lokal kian menguat.
Gelombang tuntutan pun semakin keras. Dari organisasi mahasiswa, komunitas adat, hingga tokoh gereja, semua menyerukan hal yang sama: “Buka isi MoU atau rakyat turun ke jalan!”
“Transparansi bukan kemurahan hati pemerintah — itu hak rakyat,” tegas Friady, menutup pernyataannya.
Proyek Maluku Integrated Port memang dimaksudkan sebagai simbol kemajuan. Namun, tanpa keterbukaan dan partisipasi rakyat, ia berisiko menjadi simbol pengkhianatan, di mana pelabuhan berdiri megah di atas air, sementara rakyat hanya menjadi penonton dari dermaga yang dijual atas nama pembangunan. (MIM-MDO)