
MALUKU INDOMEDIA.COM, Ambon- Nama Letnan Jenderal TNI (Purn) Nono Sampono, S.Pi., M.Si., kembali mencuat di tengah sorotan publik Maluku. Meski telah tiga periode duduk di kursi DPD RI (2017–2019, 2019–2024, dan 2025–2029), kiprahnya dinilai jauh dari harapan masyarakat, khususnya dalam memperjuangkan isu strategis perikanan dan kelautan.
Kritik tajam datang dari M.A. Ramadan Tuhelelu, Koordinator Wilayah VII Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI). Ia menilai sang Jenderal lebih sering absen dalam isu krusial, terutama kebijakan pusat yang kerap menekan potensi laut Maluku.
“Maluku memiliki lautan seluas 92,4% atau sekitar 712.479,69 km² dengan keanekaragaman sumber daya ikan, udang, rumput laut, kepiting, cumi, hingga terumbu karang. Potensi ini seharusnya jadi penyumbang terbesar bagi pendapatan daerah. Namun hingga kini, kebijakan pusat masih sering merugikan daerah, dan peran DPD RI sebagai wakil daerah justru tidak terasa,” tegas Tuhelelu.
Kebijakan Pusat yang Memberatkan Maluku
Sorotan utama jatuh pada PP No.11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur yang membagi kuota penangkapan berdasarkan zona dan kapasitas kapal. Fakta di lapangan, mayoritas kapal nelayan Maluku hanya berbobot 10–20 GT, sehingga kalah bersaing dengan kapal industri besar.
Surat Edaran Menteri Kelautan Nomor B.2403/MEN-KP/XII/2024 tentang transisi kebijakan penangkapan ikan juga dinilai semakin membatasi ruang gerak nelayan lokal.
Lebih jauh, praktik ilegal seperti penggunaan pukat harimau (trawl) yang telah dilarang sejak Keppres No.39 Tahun 1980 dan Permen KP No.2/2015 masih saja menjadi ancaman serius bagi ekosistem laut Maluku. Kerusakan terumbu karang akibat praktik ini berpotensi menggerus masa depan generasi pesisir.
Tuhelelu menegaskan, seorang senator asal Maluku tidak boleh menjadikan daerah hanya sebagai jembatan politik. Menurutnya, masyarakat Maluku butuh wakil yang benar-benar memahami, mencintai, dan berjuang untuk hak-hak nelayan dan keberlanjutan laut.
“Seorang wakil daerah tidak boleh sekadar hadir sebagai simbol. Kami butuh perjuangan konkret untuk merevisi aturan, menolak kebijakan yang menindas, dan mengawal sumber daya laut Maluku agar benar-benar jadi milik rakyat Maluku,” tandasnya.
Kritik HIMAPIKANI ini seolah menjadi alarm keras: apakah kursi DPD RI benar-benar mampu menjadi corong aspirasi rakyat daerah, atau justru terjebak dalam pusaran kompromi politik Jakarta?
Di tengah realitas nelayan kecil yang kian terhimpit, absennya peran tegas DPD RI asal Maluku bisa menjadi catatan kelam pengabdian seorang Jenderal.
👉 Catatan Redaksi: Berita ini merupakan refleksi dari suara kritis mahasiswa perikanan terhadap wakil daerah di Senayan. Maluku dengan lautan kaya raya menuntut keberpihakan nyata, bukan sekadar janji pengabdian. (MIM-MDO)