
MALUKU INDOMEDIA.COM, Ambon– Jargon Lawamena yang digadang-gadang menjadi simbol kemajuan Maluku kini terancam tinggal slogan. Hubungan Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, dan Wakil Gubernur, Abdullah Vanath, dikabarkan retak hanya beberapa bulan setelah mereka berdua dilantik.
Retaknya duet kepemimpinan ini memunculkan kekecewaan publik. Masyarakat menilai, di tengah beratnya persoalan kemiskinan, pembangunan, dan ketertinggalan, justru pemimpin yang seharusnya satu langkah malah saling berjarak.
Tokoh pemuda Wetar Maluku Barat Daya, Yesry Lolopaly, mengkritik keras kondisi ini.
“Baru terpilih dan bekerja belum setahun, kok sudah retak? Bagaimana nasib Maluku ke depan? Lawamena artinya berlari maju, tapi kalau gubernur dan wakil gubernur sibuk urus politik, Maluku mau dibawa ke mana?” ujarnya.
Maluku Termiskin, Pemimpin Malah Bertikai
Yesry mengingatkan, Maluku kini berada di peringkat keempat provinsi termiskin di Indonesia. Dari 38 provinsi, Maluku masih masuk 10 besar termiskin. Situasi ini, menurutnya, seharusnya membuat gubernur dan wakil gubernur solid, bukan justru terpecah.
“Tantangan kita berat. Maluku miskin, pembangunan tertinggal, rakyat menjerit. Kalau pemimpinnya retak, jangan harap ada lompatan besar,” katanya.
Wetar: Garda Terdepan yang Terabaikan
Dalam kritiknya, Yesry juga menyoroti Pulau Wetar, yang kaya sumber daya tembaga dan emas serta strategis karena berbatasan dengan Timor Leste. Ironisnya, Wetar tetap masuk dalam kategori 3T (tertinggal, terpencil, terluar).
“Pulau dengan tambang besar, garda terdepan NKRI, tapi yang dirasakan rakyat hanya ampas. Aturan dan program pembangunan selama ini omong kosong belaka,” tegasnya.
Peringatan Keras: Jangan Sampai Wetar Bergabung ke NTT
Yesry bahkan melemparkan peringatan keras kepada pemerintah Maluku.
“Sesekali gubernur dan wakil gubernur datanglah ke Wetar. Jangan sampai masyarakat lebih merasa diperhatikan NTT. Kalau terus acuh, jangan kaget kalau suatu saat Wetar bergabung dengan NTT,” tandasnya.
Retaknya hubungan gubernur–wakil gubernur bukan sekadar konflik politik biasa. Di tengah Maluku yang masih tertinggal, perselisihan pucuk pimpinan justru memperlebar jurang ketidakpercayaan rakyat. Jargon Lawamena akan menjadi ironi pahit bila tak diikuti kerja nyata dan soliditas pemimpin. (MIM-MDO)