
Oleh: Friyadi Toisutta
(Mantan Majelis Pembina Cabang PMII Kota Ambon, Kader Pimpinan Pusat AMPG)
Minggu 8 Juni 2025
Saya merasa perlu bersuara ketika menyaksikan bagaimana Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menjadi sasaran kritik keras dari Pengurus Besar PMII (PB PMII) dalam isu tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kritikan tersebut terkesan tidak hanya menyasar kebijakan, tetapi juga cenderung memojokkan pribadi Bahlil, seolah beliau menjadi representasi tunggal dari seluruh masalah pertambangan di wilay .ah tersebut.
Sebagai kader PMII dan pembina yang pernah ikut membesarkan organisasi ini, saya menilai bahwa pendekatan yang diambil oleh PB PMII kali ini kurang proporsional dan justru menimbulkan kesan politis. Kita tahu, Bahlil adalah salah satu tokoh Papua yang berhasil menembus jajaran kabinet membawa suara timur Indonesia ke pusat kekuasaan. Maka perlu kehati-hatian ketika mengkritik, agar tidak terjebak dalam narasi yang menyudutkan tanpa data.
Isu tambang nikel di Raja Ampat adalah persoalan kompleks yang melibatkan banyak aktor: investor, pemerintah pusat dan daerah, masyarakat adat, hingga aktivis lingkungan. Sebagai Menteri ESDM, Bahlil tentu tidak bertindak sepihak. Segala proses perizinan maupun pencabutan izin dilakukan berdasarkan mekanisme hukum dan pertimbangan teknis yang panjang.
Lantas mengapa PB PMII memilih untuk “menghantam” Bahlil secara terbuka? Ini yang patut dipertanyakan. Apakah kritik ini murni atas dasar lingkungan hidup dan keberpihakan terhadap masyarakat adat? Ataukah ada kepentingan tertentu di balik framing terhadap Bahlil? Ini yang perlu dijelaskan kepada publik. Sekaligus ssya meyakini PB PMII gagal paham persoalan nasional ini.
Saya mengajak sahabat-sahabat PB PMII untuk kembali kepada khittah gerakan intelektual. Kritik harus dilandasi data dan kajian, bukan sekadar retorika atau tekanan politis. Kita semua sepakat bahwa eksploitasi sumber daya alam harus berpihak pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan rakyat. Tapi pendekatannya harus solutif, bukan destruktif.
Bahlil, sebagai anak bangsa dari timur Indonesia, sudah membuktikan diri sebagai representasi orang Papua yang mampu berbicara di level nasional. Alih-alih memojokkannya, akan lebih bijak jika PB PMII mendorong dialog dan transparansi membuka ruang kritik yang sehat, bukan menyerang secara personal.
Mari kita kedepankan etika dalam berorganisasi, dan jangan biarkan PMII dijadikan alat politik oleh kepentingan tertentu. PMII harus tetap independen, kritis, dan solutif dalam membela rakyat, bukan sekadar ikut arus opini.